Wednesday 12 October 2011

Setrika

Menyetrika adalah salah satu PR ibu-ibu rumah tangga. Tentunya ibu-ibu yang mau. Tahu sendiri kalau sekarang ini banyak ibu-ibu alias perempuan-perempuan yang lebih memilih menyibukkan diri di luar rumah dan tidak mau tahu pekerjaan rumah. Tahu beresnya saja. Asal Mbok Ijah atau mbok-mbok dan mbak-mbak yang lainnya tidak sedang pulang kampung, semua pasti beres. Padahal ada seni tersendiri saat mengerjakan hal-hal kecil tapi cukup melelahkan seperti mencuci, menyetrika, memasak, dan tetek-bengek lainnya khas perempuan. Rutinitas atau tepatnya keterampilan khusus yang perlu latihan-latihan yang dibumbui cinta. Cinta yang hanya dimiliki seorang perempuan. Ada bumbu pengabdian di sana. Istri pada suaminya. Anak pada orang tuanya. Orang tua pada anak-anaknya. Luar biasa. Kebiasaan sehari-hari yang sering dianggap sepele dan mudah namun penuh kerelaan luar biasa.

Berbicara kreativitas, ibu-ibu alias perempuan-perempuan boleh dibilang adalah makhluk paling kreatif di muka bumi ini. Ada saja yang bisa dikerjakan oleh tangan-tangan lembut nan hangat itu. Bahkan untuk urusan menyetrika ini. Setiap hal diperhatikan. Harus pas menyetel suhunya agar kain tidak rusak. Tahu sisi mana yang harus dilipat. Bahkan untuk urusan lipat-melipat ini setiap ibu punya caranya sendiri. Dari yang paling umum sampai paling ekstrim seperti jurus ibu-ibu di Jepang, yang sekali tarik saja baju bisa terllipat rapi. Kreativitas itu memang ada di setiap gerak tangan dan kaki kita.

Aku sendiri sering menganggap remeh soal menyetrika. Ibu bilang kalau aku harus latihan menyetrika mulai sekarang agar kalau nanti tinggal di kos, bisa biasa mengurus cucian sendiri. Menyuci dan menyetrika. Pasangan sehidup semati. Bukankah menyetrika itu mudah? Tinggal menggeser-geser permukaan panasnya di atas pakaianku dan jadilah rapi. Tapi sepertinya sekarang setelah benar-benar kulakukan sendiri, rasanya menyepelekan latihan adalah hal yang kurang baik. Sebab sekarang aku tahu kalau menyetrika itu bukan hanya bagaimana agar baju itu jadi rapi kembali setelah sengaja disiksa habis-habisan di mesin cuci atau oleh tangan kita sendiri. Menyetrika adalah pekerjaan yang membutuhkan waktu. Waktu yang hanya bisa dibeli oleh kasih sayang seorang ibu, seorang perempuan.

Thursday 9 June 2011

SI MANJA

hai pohon, selamat pagi
menyenangkan menyentuh kulitmu, mencumbumu sepagi ini
sensasinya merasuk meresap ke dalam tubuhku
sampai ke hati dan otakku
memerintahkan bibir tebalku ini untuk tersenyum begitu lebar
bagaimana kabarmu hari ini?
sungguh ingin aku mendengar jawabmu
tapi kau ini sangat manja
membiarkanku mencari sendiri jawabannya
membiarkanku menyentuhmu, mengulitimu, bahkan memotongmu
memperlakukanmu sangat kasar
inginkah kau dipeluk seperti ini?
dengan kebisuan katamu,menunjukkan
kau sebenarnya tak membutuhkanku
aku nampak buruk dengan memaksamu
terus-menerus memenuhi keinginanku
ingin sekali aku tahu pendapatmu
tentang rupa anakmu yang sama denganmu
cemburukah engkau?
Atau relakah engkau memberikan benihmu untuk kuberikan pada
pejantan yang tak pernah kau kenal?
Kami, akan langsung menjerit
tapi kau sangat manja
membiarkan kami mencari sendiri jawabnya

-10 Mei 2011-

BEBAS TAK LEPAS

Sakitkah kau saat menabrak bebatuan?
Terlukakah kau saat tergores tanah dan pasir?
Atau sempatkah kau mengeluh pada liku-liku bumi
Yang nampaknya memusingkan itu?
Tidak mengapa, kau jawab
Ketika titik hujan menjelma deras
Sungguh menyenangkan berlari menuju muara
Ketika akhirnya deras bertemu riak
Menderas
Menderu
Bening jadi coklat keruh nan mengerikan
Peluh-peluh menjelma asin nan membebaskan
Sempit pun seketika menjadi luas tak terbatas
Sakit dan luka pun tiada terasa
Terganti alir tenang berselimut gelombang
Liku-liku menjelma liuk-liuk indah
Tak selamanya, karena suatu waktu
Kami pun akan kembali menabrak batu dan tergores pasir
Untuk sampai di kebebasan ini

Thursday 27 January 2011

BELIEVE

I am holding a pen
but nothing to send
then I remember a story
just about a tree, a huge tree
imagine how many hands needed to cover it
some people said, don’t touch the tree
or it will cut you be three
I whisper through the brown leaf
I am not gonna hurt you
we would be better live together
you live I live
I leave you leave

Wednesday 26 January 2011

Demi Waktu


Motor yang mesinnya belum sempat dipanaskan harus segera kupacu. Jam tangan sudah menunjukkan pukul 06.30, berarti tepat lima belas menit sebelum bel masuk kelas berbunyi.

Setelah sedikit keributan karena tugas-tugas yang tak terselesaikan, seragam yang belum diseterika, buku-buku belum sesuai jadwal, dan menghilangnya kacamata secara misterius, akhirnya aku berangkat juga. Tepat lima belas menit waktu yang kupunya untuk sampai ke sekolah, hingga tidak ada cara lain selain memacu motor dalam kecepatan tinggi. Kalau tidak salah melihat, speedometer menunjukkan angka 70 km/jam dan hampir tidak pernah berubah setiap hari.

Sambil terus menjaga kecepatan motor tetap stabil di angka itu, mataku sedikit melirik jam tangan. Kemudian setelahnya, aku akan berusaha menenangkan diri dan berkata dalam hati, “Tenang, pasti tidak terlambat”.

Tetapi tetap saja, sekuat apapun gas motor kutarik, kemacetan tak dapat dihindari. Di salah satu titik perlambatan, motorku terpaksa harus bergerak sangat pelan. Aduh, aku mulai tak tenang lagi. Terngiang lagi kalimat “terlambat” di kepalaku. Lalu tanpa sengaja, mataku tertuju pada gerombolan anak-anak muda di sebelah kiri jalan. Dengan sadar, aku perhatikan mereka. Kira-kira usianya sama denganku. Dengan dominan warna hitam dari atas sampai bawah, kecuali rambutnya yang berwarna-warni nan tak bercahaya, mereka bernyanyi-nyanyi diiringi sebuah gitar kecil. Aku ingat, apa ini yang disebut punkers? Oh Tuhan, bagaimana kalau aku seperti mereka ya? Apa mereka tidak sekolah? Bagaimana kalau hari ini atau entah kapan aku jadi seperti mereka? Apa yang bisa kulakukan untuk mereka? Padahal sempat dengan bangga aku menyebut diriku pandu pertiwi. Pelan-pelan kutinggalkan pemandangan itu dengan banyak pertanyaan aneh berkejaran di kepalaku.

Begitulah rutinitas pagiku. Ada saja yang kurang, yang hilang,dan ujung-ujungnya ada yang tertinggal di atas meja atau di kolong kursi. Untunglah baru dua kali aku terlambat datang ke sekolah. Ya, berarti dua kali pula gerbang istana, maksudku gerbang sekolah tertutup bagi pelaku-pelaku kriminal dalam kasus keterlambatan seperti aku dan beberapa temanku.

Setelah itu, baru saja masuk ke kelas, “An, sudah selesai?”, Ria menanyaiku soal tugas Bahasa Jepang. Aku tertegun. Dengan rasa tak bersalah, kalimat ini meluncur dari mulutku, “Ada tugas ya. Aku belum ngerjakan.” Belum selesai keterkejutanku atas tugas tadi, Rita menyodorkan sebuah kertas yang sedikit agak lusuh dengan banyak tanda merah di sana-sini. Oh Tuhan, ternyata itu adalah hasil ulangan matematika seminggu yang lalu. Tiba-tiba aku merasa benar-benar tidak berani membuka lembaran kertas itu. Bukan karena kertas itu punya gigi taring yang bisa menggigitku atau cakar tajam yang siap merobek ujung jariku, tapi angka bertinta merah di pojok kertas itulah yang menerorku.

“An, gimana? Dapat berapa?”, Sari menepuk punggungku, mengagetkan.

Dan hanya senyum tak ikhlas yang tersungging di bibirku. Mengintip sedikit saja ke dalam lipatan kertas itu sudah membuatku ingin pulang, belajar, dan mengembalikan putaran waktu ke masa sebelum kuterima soal-soal ulangan ini.

Kuhempaskan tubuhku ke atas kursi empuk, melihat sekeliling dan mataku kembali tertuju pada hasil ulanganku. Begini lagi. Selalu terulang lagi. Padahal kemarin aku sudah bertekad untuk belajar lebih rajin mengingat sudah naik ke kelas dua belas. Seharusnya sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak niat belajar, tapi kenyataannya ada saja alasan-alasan salah yang kubenarkan sendiri untuk mendukung kemalasanku.



Hitam, hah, aku teringat dengan apa yang baru saja kulihat tadi. Seperti sebuah paku kecil yang memaksaku melompat dari tempat duduk, dengan tiba-tiba semangat ini muncul lagi. Bahwa aku harus memulai lagi. Bersamaan dengan berbunyinya bel tanda masuk, aku ikrarkan lagi semangatku untuk berubah. Bukan seperti power rangers atau masked rider, tapi aku akan lebih bersemangat sekolah dan belajar agar kelak bisa bermanfaat dan bisa membantu mereka yang tidak sempat bersekolah sepertiku.

Dan kemudian, hari ini terlewati dengan sangat cepat. Tanpa mengeluh dengan catatan di papan yang semakin banyak dan daftar tugas-tugas yang semakin panjang, kukemasi barang-barangku. Kuingatkan lagi memoriku untuk segera mengerjakan semua PR tadi sore ini juga. Setelah itu, pukul lima membantu ibu, dan bisa belajar pelajaran besok di malam harinya. Jadwal belajarku kuubah seketika. Terlihat sangat rapi tertulis di secarik kertas. Aku sangat yakin, kalau besok pasti akan lebih baik dari hari ini.

Kembali ke jalan, aku melaju kencang dengan motorku. Rasanya tidak sabar aku melakukan semua rincian jadwal yang sudah kutuliskan. Pasti besok tidak ada lagi cerita kehilangan, rasa was-was akan terlambat, atau tugas-tugas tak terselesaikan. Aku tersenyum-senyum di perjalanan.

Setelah sampai di rumah, kulepas sepatuku dan segera berganti baju. Jam dinding menunjukkan pukul 16.00 WIB. Siang ini memang agak panas, jadi kupikir istirahat sebentar barang lima belas atau tiga puluh menit tidak akan masalah. Tidak akan mengganggu jadwal baruku. Begitu meletakkan kepalaku di atas bantal, aku langsung tertidur.

Satu menit…dua menit… Kubuka mataku dan melirik ke jam dinding. Oh tidak….. Lagi-lagi aku tertidur sampai pagi.

Thursday 20 January 2011

Satu Jam Lewat Tiga Puluh Menit

Satu jam lewat tiga puluh menit sudah aku berada di depan komputer mini ini
dan belum satu cerita pun berhasil aku tulis dengan tuntas
Beberapa ide sempat muncul, tapi di tengah perjalanannya,
terhenti dan hilang begitu saja
Rasanya jika kuteruskan, ceritanya terkesan memaksa
dan justru membuatku seakan-akan hanya membual saja
Tidak ada esensi dan arah yang jelas
Penuh kata tapi kosong makna
Mungkin karena sudah lama tak menulis
Jadi sedikit lupa ke mana arah yang dituju lalu tersesat di tengah jalan
Kuputuskan berhenti mencari-cari alamat yang benar
daripada menghabiskan waktu

Satu jam lewat tiga puluh menit
rasanya sudah ku sia-siakan dengan berpikir dan mencari
setitik inspirasi yang tidak pernah muncul
Di mana sekarang aku merasa terlalu memaksakan diri
Ingin mencoba membuat sesuatu tetapi justru dalam prosesnya
aku membuang sesuatu yang lain begitu saja
Lebih buruk lagi, dari awal kutekan tombol power on di komputer ini
tidak terlintas satu alasan pun mengapa akhirnya aku menyalakannya
Yang setelah kupikir-pikir, ah lebih baik aku mencoba menulis saja
Dan, ya beginilah akhirnya, tidak ada satu pun yang berhasil kulakukan

Satu jam lewat tiga puluh menit
Selama itu aku memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang kupikir
bisa kujadikan alasan atau bahkan akhirnya menjadi suatu tujuan
yang bisa membawaku
pada kepuasan menghasilkan sebuah karya
Tetapi tujuan itu tak pernah kutemukan dan tidak pernah ada tulisan yang dapat kutulis
Karena memang dari awal ku tekan tombol power on di komputer ini
tidak pernah ada tujuan yang ingin kucapai