Thursday 27 January 2011

BELIEVE

I am holding a pen
but nothing to send
then I remember a story
just about a tree, a huge tree
imagine how many hands needed to cover it
some people said, don’t touch the tree
or it will cut you be three
I whisper through the brown leaf
I am not gonna hurt you
we would be better live together
you live I live
I leave you leave

Wednesday 26 January 2011

Demi Waktu


Motor yang mesinnya belum sempat dipanaskan harus segera kupacu. Jam tangan sudah menunjukkan pukul 06.30, berarti tepat lima belas menit sebelum bel masuk kelas berbunyi.

Setelah sedikit keributan karena tugas-tugas yang tak terselesaikan, seragam yang belum diseterika, buku-buku belum sesuai jadwal, dan menghilangnya kacamata secara misterius, akhirnya aku berangkat juga. Tepat lima belas menit waktu yang kupunya untuk sampai ke sekolah, hingga tidak ada cara lain selain memacu motor dalam kecepatan tinggi. Kalau tidak salah melihat, speedometer menunjukkan angka 70 km/jam dan hampir tidak pernah berubah setiap hari.

Sambil terus menjaga kecepatan motor tetap stabil di angka itu, mataku sedikit melirik jam tangan. Kemudian setelahnya, aku akan berusaha menenangkan diri dan berkata dalam hati, “Tenang, pasti tidak terlambat”.

Tetapi tetap saja, sekuat apapun gas motor kutarik, kemacetan tak dapat dihindari. Di salah satu titik perlambatan, motorku terpaksa harus bergerak sangat pelan. Aduh, aku mulai tak tenang lagi. Terngiang lagi kalimat “terlambat” di kepalaku. Lalu tanpa sengaja, mataku tertuju pada gerombolan anak-anak muda di sebelah kiri jalan. Dengan sadar, aku perhatikan mereka. Kira-kira usianya sama denganku. Dengan dominan warna hitam dari atas sampai bawah, kecuali rambutnya yang berwarna-warni nan tak bercahaya, mereka bernyanyi-nyanyi diiringi sebuah gitar kecil. Aku ingat, apa ini yang disebut punkers? Oh Tuhan, bagaimana kalau aku seperti mereka ya? Apa mereka tidak sekolah? Bagaimana kalau hari ini atau entah kapan aku jadi seperti mereka? Apa yang bisa kulakukan untuk mereka? Padahal sempat dengan bangga aku menyebut diriku pandu pertiwi. Pelan-pelan kutinggalkan pemandangan itu dengan banyak pertanyaan aneh berkejaran di kepalaku.

Begitulah rutinitas pagiku. Ada saja yang kurang, yang hilang,dan ujung-ujungnya ada yang tertinggal di atas meja atau di kolong kursi. Untunglah baru dua kali aku terlambat datang ke sekolah. Ya, berarti dua kali pula gerbang istana, maksudku gerbang sekolah tertutup bagi pelaku-pelaku kriminal dalam kasus keterlambatan seperti aku dan beberapa temanku.

Setelah itu, baru saja masuk ke kelas, “An, sudah selesai?”, Ria menanyaiku soal tugas Bahasa Jepang. Aku tertegun. Dengan rasa tak bersalah, kalimat ini meluncur dari mulutku, “Ada tugas ya. Aku belum ngerjakan.” Belum selesai keterkejutanku atas tugas tadi, Rita menyodorkan sebuah kertas yang sedikit agak lusuh dengan banyak tanda merah di sana-sini. Oh Tuhan, ternyata itu adalah hasil ulangan matematika seminggu yang lalu. Tiba-tiba aku merasa benar-benar tidak berani membuka lembaran kertas itu. Bukan karena kertas itu punya gigi taring yang bisa menggigitku atau cakar tajam yang siap merobek ujung jariku, tapi angka bertinta merah di pojok kertas itulah yang menerorku.

“An, gimana? Dapat berapa?”, Sari menepuk punggungku, mengagetkan.

Dan hanya senyum tak ikhlas yang tersungging di bibirku. Mengintip sedikit saja ke dalam lipatan kertas itu sudah membuatku ingin pulang, belajar, dan mengembalikan putaran waktu ke masa sebelum kuterima soal-soal ulangan ini.

Kuhempaskan tubuhku ke atas kursi empuk, melihat sekeliling dan mataku kembali tertuju pada hasil ulanganku. Begini lagi. Selalu terulang lagi. Padahal kemarin aku sudah bertekad untuk belajar lebih rajin mengingat sudah naik ke kelas dua belas. Seharusnya sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak niat belajar, tapi kenyataannya ada saja alasan-alasan salah yang kubenarkan sendiri untuk mendukung kemalasanku.



Hitam, hah, aku teringat dengan apa yang baru saja kulihat tadi. Seperti sebuah paku kecil yang memaksaku melompat dari tempat duduk, dengan tiba-tiba semangat ini muncul lagi. Bahwa aku harus memulai lagi. Bersamaan dengan berbunyinya bel tanda masuk, aku ikrarkan lagi semangatku untuk berubah. Bukan seperti power rangers atau masked rider, tapi aku akan lebih bersemangat sekolah dan belajar agar kelak bisa bermanfaat dan bisa membantu mereka yang tidak sempat bersekolah sepertiku.

Dan kemudian, hari ini terlewati dengan sangat cepat. Tanpa mengeluh dengan catatan di papan yang semakin banyak dan daftar tugas-tugas yang semakin panjang, kukemasi barang-barangku. Kuingatkan lagi memoriku untuk segera mengerjakan semua PR tadi sore ini juga. Setelah itu, pukul lima membantu ibu, dan bisa belajar pelajaran besok di malam harinya. Jadwal belajarku kuubah seketika. Terlihat sangat rapi tertulis di secarik kertas. Aku sangat yakin, kalau besok pasti akan lebih baik dari hari ini.

Kembali ke jalan, aku melaju kencang dengan motorku. Rasanya tidak sabar aku melakukan semua rincian jadwal yang sudah kutuliskan. Pasti besok tidak ada lagi cerita kehilangan, rasa was-was akan terlambat, atau tugas-tugas tak terselesaikan. Aku tersenyum-senyum di perjalanan.

Setelah sampai di rumah, kulepas sepatuku dan segera berganti baju. Jam dinding menunjukkan pukul 16.00 WIB. Siang ini memang agak panas, jadi kupikir istirahat sebentar barang lima belas atau tiga puluh menit tidak akan masalah. Tidak akan mengganggu jadwal baruku. Begitu meletakkan kepalaku di atas bantal, aku langsung tertidur.

Satu menit…dua menit… Kubuka mataku dan melirik ke jam dinding. Oh tidak….. Lagi-lagi aku tertidur sampai pagi.

Thursday 20 January 2011

Satu Jam Lewat Tiga Puluh Menit

Satu jam lewat tiga puluh menit sudah aku berada di depan komputer mini ini
dan belum satu cerita pun berhasil aku tulis dengan tuntas
Beberapa ide sempat muncul, tapi di tengah perjalanannya,
terhenti dan hilang begitu saja
Rasanya jika kuteruskan, ceritanya terkesan memaksa
dan justru membuatku seakan-akan hanya membual saja
Tidak ada esensi dan arah yang jelas
Penuh kata tapi kosong makna
Mungkin karena sudah lama tak menulis
Jadi sedikit lupa ke mana arah yang dituju lalu tersesat di tengah jalan
Kuputuskan berhenti mencari-cari alamat yang benar
daripada menghabiskan waktu

Satu jam lewat tiga puluh menit
rasanya sudah ku sia-siakan dengan berpikir dan mencari
setitik inspirasi yang tidak pernah muncul
Di mana sekarang aku merasa terlalu memaksakan diri
Ingin mencoba membuat sesuatu tetapi justru dalam prosesnya
aku membuang sesuatu yang lain begitu saja
Lebih buruk lagi, dari awal kutekan tombol power on di komputer ini
tidak terlintas satu alasan pun mengapa akhirnya aku menyalakannya
Yang setelah kupikir-pikir, ah lebih baik aku mencoba menulis saja
Dan, ya beginilah akhirnya, tidak ada satu pun yang berhasil kulakukan

Satu jam lewat tiga puluh menit
Selama itu aku memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang kupikir
bisa kujadikan alasan atau bahkan akhirnya menjadi suatu tujuan
yang bisa membawaku
pada kepuasan menghasilkan sebuah karya
Tetapi tujuan itu tak pernah kutemukan dan tidak pernah ada tulisan yang dapat kutulis
Karena memang dari awal ku tekan tombol power on di komputer ini
tidak pernah ada tujuan yang ingin kucapai