Friday 27 February 2015

LINK to WRITE

Setiap mengisi pertanyaan tentang hobi di formulir apapun itu, tak lupa saya cantumkan menulis selain hobi membaca dan nonton film. Kegemaran menulis sudah ada sejak cukup lama. Awalnya menulis buku harian, lalu menulis puisi, sampai pernah ketika ujian akhir semester di SMP bukannya belajar saya justru asik menulis berjalannya hari-hari ujian menjadi rangkaian cerita pendek.
Tulisan berikut bukan tentang saya yang jago menulis. Saya baru belajar, masih anak bawang. Kalau kata Clara Ng, jangan bilang kamu penulis kalau belum menerbitkan minimal tiga buku. Tiga. Satu pun saya belum pernah. Tapi entah mengapa, dunia tulis menulis seakan selalu mendekat dan menyenangkan.
Saya masih ingin percaya kalau yang telah terjadi adalah rangkaian kebetulan yang menyeret saya sedikit tahu tentang menulis dan berhasrat untuk terus menulis. Tapi hal lain menyuruh saya untuk percaya bahwa mungkin ini adalah salah satu cara Tuhan berbicara kepada umatnya. Memberitahu tentang sesuatu agar kita melakukannya dan belajar lebih banyak.
Jadi begini, setelah melalui masa tulisan-tulisan curhat di jaman SD dan SMP, saya bertemu dengan guru bahasa Indonesia favorit di SMA. Sebenarnya pelajarannya biasa hanya saja Ibu Guru kami waktu itu baik sekali, kami para murid pun banyak yang mengidolakannya. Suatu hari kami diminta menulis esai, dengan semangat saya menuliskan tentang teman-teman sebaya yang banyak menghabiskan hari-harinya di perempatan. Di hari lain, lahirlah sebuah script drama tentang perayaan ulang tahun dengan setting mirip perampokan.
Semasa SMA saya bergabung dengan skuad pramuka. Lagi-lagi entah bagaimana dulu ceritanya, salah satu cerpen saya yang lumayan geje (baca: nggak jelas) termuat di majalah mini anak-anak pramuka. Bahkan sempat juga mewawancarai bapak ibu pembina dan berhasil mengabadikan keduanya dalam jepretan kamera.
Di tempat lain, saat bergabung dengan pers sekolah, saya juga cukup berhasil mendekat ke kerumunan yang menyambut Bapak Walikota Kediri dan Kiai Pondok Lirboyo bersama wartawan-wartawan senior. Pernah juga bersama seorang teman memasuki pondok pesantren untuk menanyakan lebih jauh tentang difatwakannya facebook sebagai jejaring sosial yang haram. Saya lupa apakah laporan saya akhirnya dimuat atau tidak di majalah sekolah. But, jujur, that was one of my amazing moment.
Akhir masa SMA sebuah lomba menulis cerpen membuat saya meminta Ibu untuk menemani sampai ke kota Malang demi bertemu Mbak Afifah Afra dan bertemu dengan peserta kompetisi yang lain. Saya belum menang tapi banyak pertanyaan tentang menulis yang terjawab. Perjalanan yang menyenangkan. Terima kasih ibu yang mau menyusahkan diri mengantarkan. You are my big motivation.
Dari seminar dan kompetisi itu juga saya akhirnya mengenal FLP (Forum Lingkar Pena). Mbak Afra membincangkan FLP Yogyakarta yang semasa kuliah saya kenal dengan ketua umumnya, bahkan ia adalah kakak angkatan satu fakultas. Akhir-akhir lalu teman sekontrakan saya adalah penggiat komunitas itu juga.
Ya, sekarang saya tinggal di Yogyakarta. Tempat di mana banyak penulis lahir. Banyak penerbitan subur di kota pelajar ini. Lebih banyak lagi manusia berbakat yang sudi berkenalan dengan saya. Tahun lalu, di kontrakan saja ada dua orang anggota FLP. Salah satunya kini sedang menunggu novelnya yang diterbitkan beredar dan akan menjadi salah satu pembicara di event penulis di Jakarta. Selamat kakak. Semoga bisa segera menyusul J. Di waktu yang lain saya berhasil mendapatkan buku gratis dari seorang teman yang menerbitkan novel sepulang KKN nya di lombok.
Mencoba, saya masih terus mencoba untuk menulis. Hingga suatu hari di atas meja kayu jati, di dalam kamar kos ukuran 2x3 sebuah cerpen berjumlah 17 halaman selesai saya tulis dalam satu hari dan masuk 20 besar kompetisi yang diadakan komunitas sastra salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat. Sayangnya karena harus berangkat praktek lapangan, saya tak berkesempatan bertemu teman-teman di sana. But, yeah, it’s another amazing moment ever happen in my life history. Hanya masuk 20 besar sudah membuat saya kegirangan. Salah satu jurinya adalah Oka Rusmini, yang bukunya pernah saya baca semasa SMA.

Tulisan demi tulisan terus berlanjut demi mendengar hujan asteroid.
INTERVAL

Beberapa saat yang lalu saya berpikir untuk membangun sebuah blog khusus berisikan tulisan-tulisan saya, baik fiksi maupun non fiksi. Meskipun nantinya tidak banyak yang membaca paling tidak saya belajar untuk lebih berani mengutarakan asteroid-asteroid pemikiran dan ide-ide yang pernah melintas dalam orbit otak saya.
Karena saya merasa tulisan fiksi saya monoton, saya pun ingin bertemu lebih banyak orang dan mulai menulis tentang kisah mereka atau banyak mengunjungi tempat dan menulis laporan perjalanan. Menulis fakta.
Tepat setelah pikiran itu melintas, saya bertemu dan berkenalan dengan Pak Pepih Nugraha lewat bukunya Citizen Journalism. Sudah hampir tuntas saya baca tapi belum punya bukunya. Nantilah saya beli. Menarik sekali bukunya. Terutama karena mulai tertarik tentang menulis reportase. Saya bukan wartawan atau penulis profesional jadi buku itu terasa sangat cocok dijadikan referensi.
Semangat-semangat riset-meski saya belum juga bernyali menyelesaikan skripsi-datang dari para penulis luar biasa melalui curhat mereka di buku My Life as Writer. Buku-buku itu terus mendatangi saya. Sepertinya mereka ingin membuat saya terus membaca.
Menutup coretan saya ini, saya kutip perkataan Gurutta Ahmad Karaeng dalam novel Rindu-­nya Tere Liye yang mengatakan kalau mau menulis sebuah paragraf yang baik bacalah satu buku. Sepakat. Tulisan dilahirkan untuk dibaca dan tentunya bacaan dibuat agar lahir tulisan-tulisan yang lebih baik. Sama seperti, jika kita ingin menjadi guru yang baik maka kita harus menjadi murid yang baik agar bisa mengajar murid-murid dengan lebih baik.
Meski buku-buku tentang menulis semakin hari semakin banyak menarik perhatian saya, sekali lagi saya menyampaikan bahwa tulisan ini adalah tentang bagaimana dunia tulis menulis selalu serasa mendekat. Pertanyaan baru dimulai dari sini. Dengan segala kebetulan menarik yang saya temui dalam menulis tersebut apakah akan membuat saya benar-benar menjadi penulis? Kalau nantinya saya benar-benar bisa menulis yang dengan percaya diri saya buat untuk dibaca lebih banyak orang, saya akan kembali bercerita.
One for sure, I love writers

Tuesday 17 February 2015

AYAH

Lelaki pertama yang memberiku cinta di dunia ini adalah kau, Ayah
Lelaki pertama yang menampar pipiku adalah juga kau, Ayah
Lelaki pertama yang mau menemaniku melihat bulan adalah kau, Ayah
Hanya jeruk nipis perasan tanganmu yang kuterima untuk semangkuk soto yang kupesan

Kepiting terasa lebih nikmat jika kau yang membelikan dan menemaniku menghabiskannya

IBU

Diantara semua makhluk Tuhan harusnya
hanya denganmu aku merasa dan hadir paling dekat, Ibu
Sebab aku pernah berada satu tubuh denganmu
Berada di dalam perutmu
Tidak hanya sekedar pelukmu

Tapi di dalam rengkuh lindungan rahimmu yang nyaman

Thursday 5 February 2015

ANGIN TIMUR

Angin yang bertiup kencang dari arah timur membuatnya terlalu sibuk untuk mencegah jubah besar dan kain panjang yang menutup seluruh tubuhnya terbuka. Ia tak lagi memperhatikan para lelaki yang sibuk menarik unta-untanya. Wanita-wanita lainnya berpegangan satu sama lain membentuk lingkaran, berusaha melindungi anak-anak mereka.
Sebuah tangan tiba-tiba meraih lengan gadis itu dan menariknya memasuki rombongan wanita-wanita. Lalu mereka berjalan perlahan ke balik bukit pasir menghindari angin timur yang tertiup semakin kencang dari belakang. Badai pasir memaksa mereka menghentikan perjalanan itu. Perjalanan yang telah banyak membuat orang menjadi gila.
 Sudah setahun setelah ia memutuskan menjalani pilihan hidupnya dan meninggalkan sebuah ruangan kecil dengan bertumpuk-tumpuk buku. Orang-orang menyebutnya perpustakaan tapi ia melihatnya tak lebih seperti gudang tua yang lambat laun ditinggalkan. Ia mengingat kembali percakapan dengan seorang guru yang tak sengaja di temuinya.
“Di sinilah hartaku berada, Tuan. Aku bisa menjelajahi dunia tanpa meninggalkan kursi dan meja kayu ini. Banyak kisah bisa kubaca dan kembali kuceritakan seperti para ilmuwan yang mengetahui banyak hal.”
“Nira,” Tuan yang telah datang berkunjung beberapa kali itu menyebut nama anak gadis itu.
“Tidakkah kau melihat tempat ini terlalu sempit untuk menjelajahi dunia?”
 “Aku juga ingin, tapi aku tak tahu caranya Tuan. Pun aku tak tahu apakah duniaku sekarang ini memperbolehkan.”
“Tak ada yang bisa menghalangi seseorang untuk belajar bukan?” Pertemuan terakhir dengan tuan yang telah membaca lebih dari seratus buku itu menggelitik rasa ingin Nira untuk sesegera mungkin meninggalkan ruangan nyaman itu. Maka, di sinilah ia sekarang berada. Di tengah rombongan orang-orang asing dengan rasa ingin tau yang mungkin sama.
“Perjalanan adalah salah satu cara untuk menemukan dirimu sendiri. Bukan tak mungkin kau akan menemukan dirimu dalam dirimu sendiri tapi kebanyakan kau akan menemukan dirimu melalui pertemuan dengan orang lain. Setiap jiwa ditakdirkan untuk saling bercermin. Cermin yang kau temui tak mesti bersih dan mudah memantulkan bayanganmu. Bisa saja ia adalah cermin yang buram. Tapi cermin tetaplah cermin. Jika kau mau dan mampu membersihkan noda yang menutupinya dengan kain kebijaksanaan bisa dipastikan kau akan melihat wajah bercahaya tanpa dosa. Sayangnya debu-debu pasir di dunia ini terkadang lebih sering menutupi wajah itu.” Seorang kakek membagi ceritanya di tengah segerombol wanita yang sedang memasak di atas api unggun.


Bicara Persoalan Hak Orang Lain Bisa Dimulai dari Perempatan

Beberapa kali mengalami kejadian tidak menyenangkan di perempatan membuat saya jadi lebih memperhatikan perihal perempatan dan para penghuninya. Hal berikut sangat perlu untuk diperhatikan bersama karena tanpa sadar kita telah melanggar hal-hak orang lain di sekitar kita dengan melanggar peraturan yang ada.
1.         Garis batas
Ini termasuk masalah kecil dibandingkan persoalan garis batas wilayah negara, tapi bukan berarti tidak menyangkut hajat hidup orang banyak.
Perhatikan saja, baik di tepi kanan maupun kiri barisan kendaraan. Meskipun cat garis batas masih sangat cetho alias jelas, tetap saja satu per satu motor dari arah belakang mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan. Maka motor-motor pun tumpah ruah, meluber ke samping.
Tahukah bahwa perbuatan itu membuat hak orang lain dari arah berlawanan terhadap badan jalan raya jadi tak terpenuhi? Tidakkah menjadi sebuah dosa besar menyebabkan hal itu terjadi terus-menerus? Juga, pastilah kesal orang yang harusnya bisa belok kiri langsung jadi harus berhenti karena terhalang oknum-oknum tak bertanggungjawab yang nyerobot ingin menempati pole position. Mari belajar menerima. For Godsake, belajarlah antri.
2.         Menerobos lampu merah
Sebentar pemuda itu berhenti, celingukan, toleh kanan dan kiri lalu (sepertinya) tanpa rasa bersalah ia melaju kencang melewati sebuah persimpangan. Tak ada polisi. Lampu masih menyala merah terang. Hanya ada bunyi klakson panjang dari sebuah mobil yang mendadak berhenti di tengah persimpangan. Mungkin sopirnya sudah menyumpah serapah di dalam. Angin menghembus pelan. Dosa satu ini pun menguap begitu saja.
Oke, dalam ilustrasi itu untunglah tak ada korban jiwa, tapi bukankah tak sedikit yang berakhir dengan tragis. Oh please, ini bukan lagi jamannya peraturan dibuat untuk dilanggar. Ini adalah masa ketika kamu memang benar, ya jangan takut melakukannya sesuai aturan. Maka yang salah akan nampak salah, bukan yang benar jadi tampak bodoh. Eh maaf, kembali ke soal terobos-menerobos. Di sini, hak orang lain yang terampas adalah hak merasakan kenyamanan dan keamanan dalam mematuhi rambu lalu lintas. Jangan sampai yang sudah hati-hati jadi celaka karena kecerobohan dan kebodohan kita.
3.         Lebih dekat lebih pelan
Biasanya begitu melihat lampu menyala hijau dari kejauhan, otomatis sebagian dari kita akan langsung tancap gas berusaha mengejar. Well, sekilas nggak ada yang salah dengan keputusan kapten untuk menambah kecepatan, tapi marilah kita telaah kembali. Bahaya bisa jadi muncul dari ketergesaan di jalan raya atau pengambilan keputusan yang tanpa memikirkan kebaikan orang lain di sekitar.
Jadi begini, untuk kasus dengan lampu perempatan yang dilengkapi angak digital mungkin tak apa ngebut bagi yang ahli hitung-hitungan fisika. Dengan waktu sekian dan kecepatan sekian bisa dipastikan cukup untuk melewati persimpangan sebelum lampu kuning cepat berubah jadi merah. Tapi bisa dipastikan kalau sudah di jalan raya yang dipikirkan pengendara adalah the faster, the better. Nggak ada cukup waktu untuk menerapkan ilmu fisika matematikanya. Sudah tentu kalau hal ini jadi lebih berbahaya bagi yang nggak bisa memperhitungkan dengan benar. Sudah lampu tak dilengkapi teknologi canggih countdown pula. Alhasil, tanpa perhitungan cermat ditambah sok jadi pembalap, pengendara pun nge-rem­ mendadak. Fatal akibatnya bagi pengendara baik yang sudah pelan dan berhenti tepat saat lampu merah menyala dan juga bagi pengendara yang sama-sama ngebut di belakangnya.
Jangan tiru adegan ini di rumah. Dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak bertanggungjawab.
So, kalau sudah tahu di depan ada persimpangan tetap kalem ajah ya.
And the race starts here

Saat lampu masih menyala merah, para pengendara menjajal gas motor masing-masing. Broom..broom..broom...Sambil saling memandang posisi lawan. Memperebutkan pole position. 5..4..3..2..1.. Begitu nyala lampu berganti hijau, bak sirkuit balap, jalanan pun segera dipenuhi motor-mobil-bus-truk. Saling mendahului. Sementara si pengendara sepeda dengan cueknya membuat pengendara di belakang merayap siput, menunggunya menepi. Ngik...kreeet..ngiik...kreet