Batu kecil di tanganku ini begitu dingin.
Apa
bedanya aku dan batu ini. Menjadi keras dan membuatku takut sendiri.
Sudah pagi lagi. Sejak mulai bekerja dua tahun yang lalu,
rasanya pagi cepat sekali datang kembali. Belum
tuntas rasanya kurebahkan
badan ini di atas kasur tipis pemberian mamak, adzan subuh sudah terdengar
memanggil. Kupaksakan kaki ini melangkah meninggalkan rayuan setan di dekat
telinga untuk segera menyentuh air pagi yang selalu lebih dingin.
Setiap membaca bismillah, aku ingat guru ngajiku dulu
menyanyikannya, “Baca bismillah sambil cuci tangan,” dan seterusnya hingga ke
kaki. Kutunaikan wudlu untuk menyucikan diri lalu bergegas menyusul jama’ah
kawan-kawan sekontrakan.
Sekotak nasi dengan telur ceplok dan sambel kecap
menjadi bekal hari ini. Kalau dapat giliran jaga pagi, maka sudah tak sempat
menikmati sarapan bersama yang lain.
“Ratna, semua, berangkat ya.”
“Iya mbak Zul.
Nanti pulang malam lagi?”
“Iya, mau mampir cari martabak telur. Nantilah kita
bagi-bagi,” seisi rumah pun bersorak.
“Sudah siap men-talqin
orang lagi, Zul?”
pertanyaan itu
seketika menghentikan candaku dan kembali mengingat mati.
Sejak lahir, aku sudah akrab dengan rumah sakit dan
paling tidak suka dengan yang namanya perawat. Tapi mungkin karena benci sangat
dekat dengan cinta, kini profesi itu menghidupiku. Giliranku memaksa orang lain
minum obat ini itu.
Macet mengharuskanku berangkat bekerja bersamaan dengan
jam kerja ayam jantan agar bisa sampai di ruangan ini tepat waktu. Satu-satunya
ruangan paling sibuk di rumah sakit. Unit yang paling dihindari oleh
orang-orang yang takut darah. Instalasi Gawat Darurat.
Suasana masih cukup tenang sebelum Pak Dir datang
tergopoh-gopoh dari arah pintu utama. “Mbak, ada yang mau masuk.” Oh, Tuhan,
tugas datang. Panggilan tugas lebih utama daripada panggilan cacing-cacing
dalam perutku sepagi ini.
“Iya,
Pak. Minta tolong dibawa masuk. Saya panggilkan dokternya.”
Rumah
sakit cukup sibuk sejak kemarin. Dokter belum juga datang hingga para perawat
senior memutuskan untuk segera menangani pasien yang sudah sulit bernafas.
Ruangan menjadi lebih ramai dan kedatangan pengantar pasien itu sulit dikendalikan.
“Bapak
dan ibu harap tunggu di luar. Pasien akan segera kami periksa. Pasien
membutuhkan ruang untuk bernafas. Kami akan....,” kalimat dari mulutku belum
sampai titik saat Bu Nun menyatakan pasien tidak lagi bernafas. Kami semua,
tiga perawat yang sedang berjaga langsung mendekat dan memastikan pasien masih
dalam kondisi memungkinkan untuk kami tarik kembali.
“Zulfa,”
Bu Nun, perawat paling senior masih dalam keadaan tenang saat menyuruhku melakukan
CPR. Tubuh itu telentang dihadapanku
dan tak bergerak sedikitpun. Aku tertegun sejenak, sebelum akhirnya dengan
sangat mengejutkan ketenangan yang cukup mengerikan mengalir dalam dadaku.
Kukaitkan kedua tanganku dan kuletakkan di atas dada laki-laki berbaju biru
itu.
Tap...tap...tap...
Berulang
kali kutekan untuk membuat jantungnya kembali berdetak.
Membuka lagi jalan nafasnya.
Entah
mungkin sudah berulangkali melakukannya atau bagaimana, aku masih cukup kuat
meneruskan menekan bagian jantungnya bahkan cukup kuat untuk berteriak kepada
keluarga pasien untuk berhenti menjerit dan menangis. Tetapi bak api yang
menjalari kayu bakar berlumur bensin, berita kematian terlanjur memenuhi udara
dalam ruangan sempit itu. Seorang pasien lain yang ikut menyaksikan episode itu
ikut menjadi panik. Tekanan darahnya meningkat cepat.
Untunglah satpam segera datang mengusir keluar keluarga
pasien dengan lebih lembut meski tampang mereka lebih menakutkan. Dokter pun
datang dan mengevaluasi usaha kami. Detak detik yang cepat berganti tak sejalan
dengan gerakan kami yang bagiku semakin melambat. Setiap orang pasti mati. Aku
ingat baris itu seketika. Tapi pekerjaan kami mengharuskan untuk memperjuangkan
denyut kehidupan sekecil apapun kemungkinannya.
Nafas
lelaki itu kembali terdengar tapi sangat lemah. Keluarga pasien sudah bisa mengontrol
diri. Tersisa dua orang yang ngotot ingin menunggui pasien. Pasien lain yang
telah tertangani segera kami pindahkan ke ruang inap agar lebih nyaman.
“Bu Nun, saya takut,” kuberanikan membuka percakapan
setelah situasi terkondisikan.
“Oalah Zul, kamu bukan anak baru di sini. Koq masih
takut.” Bu Nun merapikan kembali ruangan yang sempat kacau. “Keluarga pasien
memang begitu, apalagi kalau sudah gawat, adanya emosi semua. Nggak kita, nggak
mereka. Sesekali membentak tidak apa, buat kebaikan pasien juga. Ini kan rumah
sakit, bukan rumah mereka. Kalau mereka balik marah ya gimana lagi tugas kita
menenangkan, mengingatkan.”
Bu Nun masih terus menyibukkan diri mengatur ini dan itu.
Sesekali berbincang dengan petugas administrasi. Lalu berpindah ke ruang
sebelah dan masuk lagi dengan setumpuk kertas atau sekotak peralatan. Mendorong
kursi roda. Menerima telepon dokter lalu segera keluar lagi. Kami semua kembali
sibuk membantu dokter yang sedang memeriksa beberapa pasien lain dengan
keluhan-keluhan ringan.
Saat istirahat siang di kantin, Bu Nun melanjutkan
obrolan kami. Mungkin ia khawatir ketakutan yang sempat kuutarakan akan
mengganggu kinerja kami.
“Atau kamu masih takut lihat orang sakaratul maut? Semua
yang hidup itu pasti mati, Zul,” Kalimat itu lagi. “Tidak seharunya kita takut.
Apalagi kerja di rumah sakit. Pilihannya hanya dua, lihat pasien jadi sembuh
atau kalau beruntung ya melihat kepergiannya.”
“Beruntung Bu?”
Perempuan dua belas tahun lebih tua dariku itu tersenyum,
“Iya. Ibu belajar banyak tentang menghadapi saat-saat seperti itu dari mereka
yang sakit atau telah pergi. Seperti kamu, dulu ibu sering nggak tega. Bahkan
sampai sekarang wajah beberapa dari mereka masih ada yang belum bisa ibu
lupakan.”
Ia masih sering menyembunyikan rasa harunya
setelah membantu dokter menangani dan memeriksa pasien.
Meski sering marah pada juniornya, aku tahu hatinya lembut sekali.
“Kalau beruntung lagi kita bisa membantu mereka
mengakhiri ucap lisannya dengan menyebut nama Allah,” tambahnya.
Bu Nun benar, aku sudah cukup lama berkarib dengan
episode-episode tak menyenangkan bahkan dengan hasil akhir lebih buruk dari
kejadian pagi ini. “Belajar dari setiap kasus akan mendewasakan kita,” katanya
setahun yang lalu. Memahami apa yang kami kerjakan. Mengerti alur kehidupan.
Tapi entahlah, tentang takut yang dijawab perawat bertubuh tambun itu bukanlah
yang sedang menimpaku.
Ruangan kecil itu semakin hari semakin membuatku
merasakan keganjilan. Sepertinya orang yang sering kuajak bicara ini belum juga
menangkap kegelisahanku sejak kumasuki ruang mayat beberapa minggu yang lalu.
Bermula dari sana, perasaan ganjil itu baru kusadari saat mengantar jenazah
seorang bayi, ikut memandikannya dan memastikan kain kafan sempurna menutupi
tubuh mungilnya. Wajah kecil dengan mata tertutup itu.
Perasaan takut bercampur ngeri itu sepersekian detik
mendadak muncul lagi ketika kuletakkan tanganku di atas dada lelaki berbaju
biru. Bu Nun dan keluarga histeris tadi mungkin tak sempat memperhatikan.
Terlalu sibuk mencoba menunda kematian yang jelas tak pernah kita ketahui kapan
datang dan tak bisa ditunda atau disegerakan.
“Zul, Ibu sudah sering dengar cerita ini. Apa kamu
ngerasa aneh setelah dari ruangan itu?” Ia menunjuk ke arah kamar mayat di
ujung koridor sebelah. “Melihat yang tidak-tidak?”
Membayangkan yang tidak-tidak membuat tubuhku bereaksi.
Bulu kudukku berdiri. Tapi demi meluruskan pemikiran tentang yang tidak-tidak,
dengan tegas aku menggeleng. “Bukan Bu, bukan itu.” Suara sendok yang beradu
dengan piring dan gelas kembali mengisi kekosongan pembicaraan.
Belum lagi nasi yang kami makan sampai ke lambung, Pak
Dir lagi-lagi masuk dengan muka cemas. Di atas bed yang didorongnya terbujur tubuh seorang remaja cantik. Bau
minuman keras menyeruak seketika. Kasus keracunan. Over dosis mungkin.
Mukanya pucat, tubuhnya kejang dan mulutnya
mengeluarkan busa. Dari keterangan sopir langganannya, ia sudah muntah-muntah
sejak masuk ke dalam taksi.
Tak perlu komando, dokter
langsung bertindak. Keributan tanpa suara kembali mengisi ruangan ini. CPR,
intubasi, semua kami lakukan, sebagian demi nama kemanusiaan dan sebagian demi
nama pekerjaan.
14:48. Seorang dokter
mengisyaratkan padaku untuk mengabarkan berita duka pada keluarganya.
Lobi sepi. Sopir taksi sudah
pergi. Hanya ada seorang ibu yang duduk dengan pandangan kosong. Di sana
bercampur antara duka, marah, sesal. Si ibu berdiri demi melihatku membuka
pintu.
Kasus kematian pertama hari ini adalah yang kedua puluh
sekian bagiku. Ketenangan yang mengerikan itu kembali menjalar.
“Maaf ibu, kami sudah berusaha, pasien atas nama Ayu
Rahmi meninggal...,” tangis pun pecah. Si ibu berlari masuk.
Mata perempuan cantik itu tertutup rapat. Inilah saat jasadnya tak lagi
menjadi kuasanya. Saat tiada lagi yang menjadi perhatiannya selain dirinya
sendiri. Merinding membayangkan kita akan kembali sendiri. Tubuh ini akan
kembali melebur bersama tanah sedangkan jiwa akan kembali pada zat Maha Agung.
Kusempatkan memohon agar ia mendapat tempat terbaik.
Cukup lama pandanganku lekat ke arah pasien terakhir itu
saat Bu Nun menepuk bahuku, “Sudah nggak usah sedih. Keluarga sudah
mengikhlaskannya, Nak.”
“Bu Nun,” panggilanku yang tanpa suara ternyata sampai di
telinganya. Saat melihat air mata sesal Si Ibu yang
menghujani tubuh kaku itu dengan ciuman aku jadi mengerti. Aku tahu, apa yang
selama ini meresahkanku. Apa yang kutakutkan. Sesuatu yang dingin ini.
Perempuan yang sudah sepuluh tahun jadi perawat itu
memandangku lekat dan akhirnya mulai mengerti keresahanku selama ini. Ia
kembali mendekat dan lirih mengatakan sesuatu.
Kesedihan yang selama ini hadir rasa-rasanya telah mati. Aku mencoba mencari tapi
percuma. Air mata atau bahkan sedikit rasa haru juga tak tersisa. Rasanya tetap
biasa. Dingin.
“Pekerja
seperti kita dianugerahi kematian seperti itu, Zulfa. Setelah melihat sendiri
sekian kali kepergian kita jadi pandai mengendalikannya. Jadilah
biasa. Akalmu memberi kesan tak peduli. Mungkin karena
mereka adalah orang-orang yang tak pernah kita kenal. Mungkin juga
karena kita mulai paham bahwa tak ada yang istimewa
tentang kematian kecuali tentang bagaimana seseorang itu telah
menjalani hidupnya.”
Yogyakarta, atas
cerita dari kawan, selesai saat jaga toko
24/02/2015