Dua jam yang lalu gue ketemu dengan seorang backpacker
di kereta menuju Surabaya. Bonus perjalanan menumpang kereta ekonomi
bersama dua orang kawan perempuan. Agenda pekan ini sudah kami rencanakan sejak
dua bulan yang lalu untuk mengunjungi kota dengan slogan beriman, rumah
salah seorang teman.
Dulu, dengan polos kukira maksudnya benar-benar ‘hanya’
beriman karena banyak pondok pesantrennya tapi ternyata ada udang di balik batu
dengan sang udang yang bilang kalau beriman itu singkatan
bersih-indah-nyaman. Menarik. Satu dari sekian kata menipu di negeri berjuta
akronim ini. Untunglah setelah disingkat pun kesan pesannya masih positif. Lain
halnya dengan sabu. Bisa gawat kalau orang tua yang begitu polos mencak-mencak
begitu mendengar bahwa anak-anaknya yang mahasiswa sering pesta sabu dengan
intel di pagi hari di kamar kosnya. Lalu tetangga yang sok tahu pun lapor
polisi dan setelah digerebek mereka hanya menemukan beberapa mangkuk bubur ayam
dan indo*** telur. Payah.
“I’m a time traveller,” bule berambut cepak rapi
itu meluruskan tebakanku soal backpacker sambil menunjuk jam di tangan
kiri. Rolex. Benar juga, backpacker nggak mungkin berlagak sok kaya dan
keren.
“Time traveller?” sepertinya gue baru saja
menemukan teman seperjalanan yang menyenangkan, “tapi kita hanya bisa pergi ke
masa depan, kan?” pikirku kalau benar orang ini gila dia pasti akan menggugat
pernyataanku.
Chris menutup buku yang sedang dibacanya sejak naik dari
stasiun kecil dekat Solo. Dari jendela kereta bisa kubaca judul buku bersampul
merah bata itu. Ditulis dengan huruf besar dan tinta putih. Kayaknya sih novel
bahasa inggris. Mungkin teman perjalanan atau semacamnya. Dilihat dari
bawaannya Chris pasti sudah jalan-jalan ke banyak tempat. Tas carrier besar,
matras, sandal gunung, topi, jerigen air.
“Ini buku yang hebat,” dia tahu mataku mencuri-curi di
balik kaca, “buku ini yang membuat saya ingin menjelajahi waktu. Kamu kenal
Christopher Johnson McCandless?” Oh My God bule ini lancar banget bahasa
inggrisnya. Oke, bersiap mengerjakan soal listening.
“The Supertramp?” Gue hafal banget dialog
Alexander Supertramp di film tentang apel super yang dia bilang ‘the apple of my eye’.
Baguslah dia ngomongin topik yang kukenal. Setiap bicara dengan bule pasti
deg-degan, jangan-jangan aku akan terlihat bodoh karena nggak tahu yang dia
maksud. Dicap nggak gaul atau lebih parah lagi dia mengeluh dalam hati tentang
pengetahuan umum orang Indonesia. Nope, dia nggak boleh sampai memandang
sebelah mata orang Indonesia gara-gara kurang updatenya gue.
“Pasti buku favorit kamu ya, Mr. Time Traveller?”
“Oh ya, sudah saya baca dua atau tiga kali.
Ngomong-ngomong Surabaya jauh tidak?” Wah sayang sekali aku turun di Jombang.
“Sekitar tiga sampai empat jam mungkin.”
“Saya sudah keliling Eropa dan sekarang saatnya
menjelajah Asia. Indonesia yang pertama. Ini pertama kalinya saya ke Surabaya.
Itu yang walikotanya terkenal sekarang. Hebat. Wanita yang hebat.” Sebagai sesama wanita gue ikut bahagia atas pujian Chris
terhadap salah satu walikota terbaik negeri ini.
Hampir dua jam berikutnya, dua temanku dengan tega
meninggalkanku yang kikuk berbahasa inggris ngobrol dengan Si Mas Bule
sendirian. Mereka tidur pulas.
“Wow, itu pohon apa?” Setibanya di daerah Ngawi Chris
langsung bertanya ini itu tentang pohon-pohon yang berjajar rapi di kanan kiri
jalan. Seingatku kalau di negaranya Chris, itu sama dengan pohon Oak. Begitu
kujawab demikian Chris melotot nggak percaya. Ya kali, ada pohon oak begitu.
Haha. Lalu kujelaskan kalau itu pohon namanya Jati. Mas-panggilan laki-laki
Jawa-Jati ini termasuk makhluk yang bisa digunakan untuk bahan konstruksi.
Istilah kerennya kayu keras. Begitulah. Gue juga lupa sudah ngomong apa saja
tentang Mas Jati. Yang jelas makhluk ini akan menggugurkan daunnya, the
leaves will fall during summer, mm.. bingung juga kalau jelasin musim
kemarau. “Oh, I mean, here, in dry season.” Syukurlah dia berbaik hati
menerima penjelasanku yang amburadul.
“What do you like about traveling?” sekarang
giliran gue nanya, sengaja, biar dia nggak melanjutkan obrolan tentang Mas
Jati.
Chris memonyongkan bibirnya dan menjawab, “Oh, that?
Mmm.. mostly because I can meet people, new people, and... ” Chris menunjuk
buku favoritnya lagi menyuruhku mengartikan sendiri maksud penunjukan itu. Oke.
“Okey, trying to have a nomadic existence?”
Akhirnya gue inget satu frase di buku itu yang cukup keren. Sekarang gue juga
ngerasa cukup keren-atau sebaliknya, udik banget.
“Darimana kamu dapat uang, Chris?” Oh yeah, ini pertanyaan
paling penting tiap kali lihat bule yang kerjaannya jalan-jalan terus.
“I have saving.”
“Wow, it must be a lot. Pasti kamu orang kaya ya.” Belum
pernah saya sebagai manusia seberani ini menilai orang secara terbuka.
“No,” tuh kan salah, “saya pernah bekerja di Virginia,
lalu bosan, resign, dan memutuskan untuk keliling dunia. Menjelajahi
waktu.”
“Cukup uangnya? Wow. Apa pekerjaan kamu?”
“IT”
Oh pantes. Tapi misteri darimana semua uang itu berasal
masih tersimpan rapat hingga sekarang. Soalnya kalau dipikir-pikir seperti
terlihat dari penampilannya, memang dasarnya ini bule kaya, jadi uang
tabungannya pastilah cukup buat jalan-jalan. Tapi sudahlah. Yang lebih seru
adalah waktu kita akhirnya ngobrolin tentang jalan tol.
“Kamu tahu kenapa orang buat jalan tol dan mau membayar
lebih untuk lewat situ?” Chris mengangkat bahunya, nggak mau jawab.
“Coz, you know, people are, actually, buying the
time.” Dan tanpa diduga Chris mengiyakan pendapatku. Yuhuuu..
“Setiap orang ingin secepatnya sampai ke tujuan, sedangkan
jalanan tambah ramai. Jadi para kontraktor membangun jalan tol agar orang-orang
yang punya uang untuk membeli tiket masuk bisa sekaligus menghemat waktu
tempuhnya. Kenapa? Kerena mereka sibuk. Karena mereka nggak punya waktu. Nggak
punya waktu. Perasaan yang harus dimiliki oleh segenap makhluk di bumi ini.”
Dan sekali lagi Chris mengiyakan. Singkat.
“Kamu nggak boleh hanya diam hingga melewatkan begitu
saja. Terlalu banyak kejadian dalam satu waktu yang bisa kita nikmati. Tentunya
kalau kamu tidak hanya berdiam di satu tempat. Selalu seperti itu. Ruang dan
Waktu. Dimensi dimana kita tinggal sekarang.” Chris akhirnya kembali dengan
nasihat bijak ala time traveller.
“Yup.”
“Bicara soal waktu, kamu nggak merasa wasting time
dengan bepergian, Chris?”
“Hoho,” tertawa keras sekali sampai penumpang lain nengok
ke kita dan berpikir wah koq bisa ya ngobrol sama bule, saya juga mau,
“Tidak, saya tidak merasa rugi, karena
saya belajar banyak hal dari perjalanan ini.”
“Kamu suka kopi?”
“Eh, kopi?” Bule ini menawarkan kopi. Beneran. Ah,
mungkin cuma tanya.
“Suka. Kopi hitam.”
“Oh, saya juga. Ke dapur yuk, saya mau tahu dapur di
kereta ini.”
Dalam hati gue berharap di mau nraktir. Tahu sendiri kan,
kalau kopi di dalam kereta itu harganya bisa dua tiga kali lipat. Itu pertama
kalinya gue mengiyakan ajakan stranger.
Dan ketika aroma kopi hitam yang mendamaikan mengepul di
depan wajah kami, Chris mengajukan pertanyaan terakhir.
“Orang lalu lalang pergi ke berbagai tempat, dunia ini
jadi ramai sekali. Kadang saya lebih suka pergi ke tempat yang sepi seperti
gunung atau pantai. Tapi sekarang gunung dan pantai pun ramai orang. Ya,
kecuali beberapa tempat terpencil yang indah seperti ini,” Chris menunjukkan
foto dirinya mengangkat sepatu di sebuah sungai kecil berair hijau.
“Jadi menurut kamu sepi itu apa?”
Lagi-lagi entah bagaimana gue punya jawaban untuk yang
satu ini, “Sepi itu pas nunggu kereta ke Bogor yang nggak datang datang
sementara orang-orang antri pengen masuk ke gerbong yang sudah beberapa kali
lewat menuju Jakarta Kota. Semacam slow motion yang menyedihkan.
Bergerak ke arah yang berbeda dari orang kebanyakan. Menunggu di barisan yang
tak punya antrian. Semacam ada sekat tipis di antara tempatku duduk dan mereka
berdiri yang membuat waktu kami berbeda.”
“That’s it, semua soal waktu yang berbeda dengan
ruang yang sama atau sebaliknya. But for sure
we never really own it. So, kamu harus terus menjelajahinya. The Time.”
Waktu dua jam berakhir dengan foto selfie berdua
di gerbong dapur. Asap mengepul dari air panas di dua cangkir kami, menari-nari
di udara. Menghantarkan partikel-partikel kecil kopi ke hidung kami yang
aromanya menyebar ke seluruh gerbong bersama dengan satu cerita baru.
fiction_just met him_the supertramp_smartbutprettysickguy
ana_J/230515