Aku tidak bisa mengingat bagaimana aku
dilahirkan. Lalu
ketika sampai di hari ke tujuh aku diberitahu bahwa aku berasal dari tanah.
Tanah yang dijadikan air. Bukan sembarang air, tetapi air yang oleh sebagian
orang dianggap menjijikkan. Darinya lah aku tumbuh di dalam perut seorang
perempuan. Menempel. Ya. Aku berawal dari cairan lemah yang hanya bisa
menempel, meminta diberi makan.
Hari ke lima belas aku dibuat terkejut
karena seseorang mengingatkanku kepada janji yang katanya kuucap di dalam perut tempatku mengemis
makanan. Sebuah janji yang menjadikanku seorang manusia. Katanya lagi, menjadi
manusia itu harus beribadah, menyembah hanya kepada zat agung yang memegang
janji kita. Aku pun disuruhnya belajar agar tak melupakan janji itu dan agar bisa
menjadi pemimpin bagi diriku sendiri.
Hari ke tujuh belas pertanyaan itu
muncul.
“Siapa kamu?”
Aku bingung. Aku lupa. Oh, benar adanya
bahwa manusia tempatnya lupa. Jawaban tentang diriku sendiri saja kulupakan
dalam dua hari. Kemudian di tengah-tengah pesta yang penuh musik dan tarian,
seseorang yang baik hati membisikkan padaku, “Kamu adalah hamba dari zat agung
yang memegang janjimu.” Kami berdua duduk bersimpuh dan menangis. Seseorang itu
menangis mengingat dosanya. Sedangkan aku menangis ketika melihatnya bisa
sedemikian sedih.
Sejak saat itu orang-orang lain yang
serupa dengan seseorang yang menangis tadi berdatangan padaku. Sebagian
membicarakan perihal pakaian, yang lain tentang makanan, dan semua hal yang
sesepele kaki mana yang harus masuk ke kamar mandi lebih dulu hingga pokok
bahasan seberat kematian. Di sini, di tengah-tengah mereka aku mulai melihat
bahwa kematian bukanlah suatu hal tabu dan terlalu menyeramkan untuk
diobrolkan. Mereka nampaknya memulai segala sesuatu dengan mengingat hari yang
dijanjikan. Kalau begitu kurasa aku juga harus selalu mengingatnya, Maha Cinta yang
memberiku wujud sebaik-baiknya makhluk.
Hari ke dua puluh
empat. Lingkaran orang-orang ini sungguh aneh, Kawan. Setiap kali aku datang ke
tengah-tengah mereka, saat itu juga aku merasa seperti ditelanjangi. Bagaimana
mereka bisa tahu apa yang sedang kupikirkan dan kurasakan? Bagaimana? Hampir semua
yang mereka bicarakan rasanya sengaja ditujukan padaku, meskipun kenyataannya
kami hanya bercerita tentang diri masing-masing.
Ini aneh. Tapi aku
suka. Kejutan-kejutan seperti itulah yang membuatku ingin selalu kembali.
Tunggu, aku tidak selalu ingin di sana, tetapi selalu ada yang tak pernah bosan
membiarkanku melangkah menemui mereka, mendengar, dan merasakan yang namanya
cinta. Lagi.
Kawan, aku meminta
setiap kali kulakukan kesalahan agar cinta tak bosan berbicara padaku dan
kembali menerimaku meski aku berjalan menujunya dengan sekujur tubuh berlumur
lumpur. Aku meminta agar segumpal darah dalam tubuh ini dikuatkan. Dan... begitulah,
setiap kali pembicaraan di antara kami dimulai, cinta itu kembali hadir
menyusup dengan cara yang paling lembut.
Ini hari ke dua
puluh empat. Sudah lama aku lepas dari dinding perut perempuan yang aku
diberitahu untuk memanggilnya Ibu. Sudah banyak yang mengajariku bagaimana
menjadi manusia. Tetapi kenyataannya aku masih meminta makan.