Monday 30 March 2015

"ANIMAL FARM"

picture source: www.pinterest.com

Penulis               : George Orwell
Penerjemah     : Bakdi Soemanto
Genre                 : Novel
Penerbit            : BENTANG PUSTAKA
Tahun terbit     : 2015
Tebal                  : 140 halaman

Terjadi sebuah pemberontakan di peternakan Manor milik Pak Jones yang diprakarsai oleh seekor babi bernama Major. Sebelum pemberontakan benar-benar dilakukan, Si Tua Major mati, tapi semangat yang ia tularkan lewat lagu “Binatang Inggris” telah berkobar dalam diri para binatang. Pada suatu malam mereka pun berhasil mengusir Pak Jones dan istrinya keluar dari peternakan. Semenjak itu para binatanglah yang menentukan nasib mereka sendiri.
Karena para babi dianggap yang paling pintar, segala urusan yang membutuhkan pemikiran diserahkan pada mereka, terutama dua babi cerdas Napoleon dan Snowball. Di sinilah bermula lahirnya penguasa yang baru setelah para manusia pergi. Tapi dual kepemimpinan dimanapun tidak akan pernah berhasil. Indikasi persaingan tak sehat dan propaganda sedikit demi sedikit mulai nampak di antara para babi yang tidak cukup dipahami oleh binatang lain yang bahkan tak bisa mengeja huruf alfabet dengan benar.
Dapatkah peternakan berjalan lebih baik dengan perginya manusia? Tidakkah manusia berusaha kembali ke peternakan? Berhasilkah kesejahteraan diraih oleh semua jenis binatang seperti yang diwacanakan Si Tua Major di bawah kepemimpinan babi rakus yang digambarkan cerdas ini?
***
Berawal dari perkenalan dengan penulisnya, Goerge Orwell (sudah banyak tulisan tentangnya), lewat kutipannya “Journalism is printing what someone else does not want printed. Everything else is public relation”, novel dengan tokoh utama babi ini berhasil menarik perhatian saya. Karya ini adalah satu dari dua karya penulis yang melejitkan namanya. Novel keduanya yang berjudul “1984” selesai ditulisnya satu tahun sebelum meninggal pada tahun 1950. Novel “Peternakan Binatang” ini ditulis pada masa perang dunia ke 2 yang dilabeli sebagai alegori politik yang unik terhadap Uni Soviet. Kamu bisa baca tulisan di sini untuk lebih lengkapnya
Alur cerita sebenarnya mudah dibaca yaitu dimulai semenjak babi bernama Napoleon berkuasa. Akan terjadi kedzaliman terhadap para binatang lain yang dalam buku ini digambarkan lebih bodoh dari para babi. Tapi menurut saya yang membuat menarik adalah bahwa penulis berhasil membuat alur cerita yang tidak membosankan dan selalu mencengangkan di setiap babnya. Perlahan sisi-sisi negatif babi yang dianggap cerdas itu dibuka satu-persatu di depan para binatang lain yang masih saja loyal karena kebodohan mereka sendiri.
Seakan-akan rakyat mendapatkan kesejahteraan, namun dibalik itu para penguasa berhasil menyembunyikan kebohongan-kebohongan demi kesejahteraan mereka. Beberapa hal negatif dari penguasa yang oleh penulis disampaikan dengan caranya yang unik antara lain bermula dari penggulingan kekuasaan, dihapuskannya kebebasan berpendapat, permainan statistik, mencari kambing hitam, propaganda media (melalui penyebaran berita yang simpang siur), hingga kesepakatan-kesepakatan dengan pihak musuh (manusia) yang hanya menguntungkan penguasa. Sampai hari ini isu yang diangkat dalam cerita masih sangat relevan dengan keadaan sekarang sebab sepertinya memang sindrom penguasa dimanapun sama.
Meskipun tidak tebal, novel ini jelas bukan bacaan yang ringan. Sedikit kaget juga waktu membuka salah satu toko buku online yang mengkategorikannya jadi buku anak-anak. Meskipun dikemas dalam cerita fabel, mengingat isinya saya kurang setuju kalau dikategorikan demikian.
Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Harcourt Braces Company di Inggris tahun 1946, sesaat setelah peristiwa Hiroshima. Pinguin Books menerbitkannya lagi pada tahun 1980. Lalu untuk terjemahan Bahasa Indonesianya sudah beberapa kali. Pernah diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi dengan judul Binatangisme. Pada 2001 diterbitkan oleh Sumbu (Yogyakarta). Di tahun 2006 diterbitkan oleh Fresh Book (Jakarta). Tahun 2014 diterbitkan oleh Titah Surga.
Sebagai novel terjemahan, dari segi bahasa dalam novel terbitan Bentang ini penulis menggunakan beberapa istilah yang agak asing didengar seperti memilih kata terwelu daripada menulis kelinci, lalu beberapa kata di bab 2 seperti dirangket, dilepa, dan ambing. Mungkin hal ini dipengaruhi juga oleh penerjemahnya yang sudah senior yaitu Profesor Doktor Christoporus Soebakdi Soemanto dengan nama pena Bakdi Soemanto. Beliau adalah sastrawan lulusan Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Pernah meraih Nobel sastra pada 1969. Aktif melahirkan karya sastra puisi dan cerpen maupun terjemahan serta menjadi salah satu pendiri Bengkel Teater pada 1967.
Sebagai karya sastra klasik, novel ini telah banyak menerima penghargaan antara lain Retro Hugo Award (1996) sebagai novela terbaik, Prometheus Hall of Fame (2011), satu dari 100 buku berbahasa inggris terbaik versi majalah Times, urutan ke 31 Modern Library List of Best 20th century Novels, dan sempat menjadi satu dari Great Books of the Western World.

Anyway, happy reading guys.

Tuesday 17 March 2015

"BUKU INI TIDAK DIJUAL"


Penulis                : Henny Alifah
Genre                  : Novel
Penerbit             : INDIVA
Tahun terbit      : 2015
Tebal                   : 192 halaman 

Buku karya penulis muda asal Ngawi ini adalah pemenang 1 Lomba Menulis Novel Inspiratif (LMNI) yang diadakan penerbit INDIVA tahun 2014.
Cerita dalam novel ini mengajak kita ikut berpetualang bersama Gading untuk mencari buku-buku milik ayahnya yang dijual sang kakek ke pengumpul barang bekas. Gading dan sepupunya pun harus menghabiskan waktu seharian penuh untuk mengejar beberapa karung buku itu. Dalam perjalanan satu hari itulah mereka bertemu orang-orang baru, mengalami kejadian tak terduga, dan menyadari banyak hal penting sehari-hari yang terlupa.
Penulis bisa meramu pesan-pesan positif yang ingin disampaikan dengan bahasa yang enak dibaca. Meminjam istilah Afifah Afra dalam komentar di sampul buku, pilihan katanya efektif dan segar. Tak lupa diselipkan pula dialog dan istilah yang terasa sekali Jawa Timurannya. Penggambaran setting ceritanya juga bisa membuat kita membayangkan keadaan sekitar Ngawi yang masih dikelilingi sawah dan pepohonan.
Pesan positif banyak dimasukkan dalam dialog tokoh dan narasi. Seperti dalam percakapan tokoh Doni dan Gading berikut.
“Ah, pokoknya, kan, dirimu mati dalam sebuah perjalanan menuju kebaikan. Bukan dalam kondisi mabuk atau judi…”
Buku ini cocok dibaca remaja dan dewasa. Tapi mungkin kurang pas bagi yang suka novel teenlit yang berbahasa gaul khas anak muda.

LOVE

Gerhana adalah pertemuan
Mau apalagi jika bintang tlah terbit
Bulan harus kembali memendam rindu
Tetap saja
Cinta itu nggak bisa dirasa sendiri
Cinta itu nggak bisa ditulis sendiri 

MATI


             Batu kecil di tanganku ini begitu dingin. Apa bedanya aku dan batu ini. Menjadi keras dan membuatku takut sendiri.
Sudah pagi lagi. Sejak mulai bekerja dua tahun yang lalu, rasanya pagi cepat sekali datang kembali. Belum tuntas rasanya kurebahkan badan ini di atas kasur tipis pemberian mamak, adzan subuh sudah terdengar memanggil. Kupaksakan kaki ini melangkah meninggalkan rayuan setan di dekat telinga untuk segera menyentuh air pagi yang selalu lebih dingin.
Setiap membaca bismillah, aku ingat guru ngajiku dulu menyanyikannya, “Baca bismillah sambil cuci tangan,” dan seterusnya hingga ke kaki. Kutunaikan wudlu untuk menyucikan diri lalu bergegas menyusul jama’ah kawan-kawan sekontrakan.
Sekotak nasi dengan telur ceplok dan sambel kecap menjadi bekal hari ini. Kalau dapat giliran jaga pagi, maka sudah tak sempat menikmati sarapan bersama yang lain.
“Ratna, semua, berangkat ya.”
“Iya mbak Zul. Nanti pulang malam lagi?”
“Iya, mau mampir cari martabak telur. Nantilah kita bagi-bagi,” seisi rumah pun bersorak.
“Sudah siap men-talqin­ orang lagi, Zul?” pertanyaan itu seketika menghentikan candaku dan kembali mengingat mati.
Sejak lahir, aku sudah akrab dengan rumah sakit dan paling tidak suka dengan yang namanya perawat. Tapi mungkin karena benci sangat dekat dengan cinta, kini profesi itu menghidupiku. Giliranku memaksa orang lain minum obat ini itu.
Macet mengharuskanku berangkat bekerja bersamaan dengan jam kerja ayam jantan agar bisa sampai di ruangan ini tepat waktu. Satu-satunya ruangan paling sibuk di rumah sakit. Unit yang paling dihindari oleh orang-orang yang takut darah. Instalasi Gawat Darurat.
Suasana masih cukup tenang sebelum Pak Dir datang tergopoh-gopoh dari arah pintu utama. “Mbak, ada yang mau masuk.” Oh, Tuhan, tugas datang. Panggilan tugas lebih utama daripada panggilan cacing-cacing dalam perutku sepagi ini.
                “Iya, Pak. Minta tolong dibawa masuk. Saya panggilkan dokternya.”
             Rumah sakit cukup sibuk sejak kemarin. Dokter belum juga datang hingga para perawat senior memutuskan untuk segera menangani pasien yang sudah sulit bernafas. Ruangan menjadi lebih ramai dan kedatangan pengantar pasien itu sulit dikendalikan.
                “Bapak dan ibu harap tunggu di luar. Pasien akan segera kami periksa. Pasien membutuhkan ruang untuk bernafas. Kami akan....,” kalimat dari mulutku belum sampai titik saat Bu Nun menyatakan pasien tidak lagi bernafas. Kami semua, tiga perawat yang sedang berjaga langsung mendekat dan memastikan pasien masih dalam kondisi memungkinkan untuk kami tarik kembali.
           “Zulfa,” Bu Nun, perawat paling senior masih dalam keadaan tenang saat menyuruhku melakukan CPR. Tubuh itu telentang dihadapanku dan tak bergerak sedikitpun. Aku tertegun sejenak, sebelum akhirnya dengan sangat mengejutkan ketenangan yang cukup mengerikan mengalir dalam dadaku. Kukaitkan kedua tanganku dan kuletakkan di atas dada laki-laki berbaju biru itu.
                Tap...tap...tap...
               Berulang kali kutekan untuk membuat jantungnya kembali berdetak. Membuka lagi jalan nafasnya.
                Entah mungkin sudah berulangkali melakukannya atau bagaimana, aku masih cukup kuat meneruskan menekan bagian jantungnya bahkan cukup kuat untuk berteriak kepada keluarga pasien untuk berhenti menjerit dan menangis. Tetapi bak api yang menjalari kayu bakar berlumur bensin, berita kematian terlanjur memenuhi udara dalam ruangan sempit itu. Seorang pasien lain yang ikut menyaksikan episode itu ikut menjadi panik. Tekanan darahnya meningkat cepat.
Untunglah satpam segera datang mengusir keluar keluarga pasien dengan lebih lembut meski tampang mereka lebih menakutkan. Dokter pun datang dan mengevaluasi usaha kami. Detak detik yang cepat berganti tak sejalan dengan gerakan kami yang bagiku semakin melambat. Setiap orang pasti mati. Aku ingat baris itu seketika. Tapi pekerjaan kami mengharuskan untuk memperjuangkan denyut kehidupan sekecil apapun kemungkinannya.
Nafas lelaki itu kembali terdengar tapi sangat lemah. Keluarga pasien sudah bisa mengontrol diri. Tersisa dua orang yang ngotot ingin menunggui pasien. Pasien lain yang telah tertangani segera kami pindahkan ke ruang inap agar lebih nyaman.
“Bu Nun, saya takut,” kuberanikan membuka percakapan setelah situasi terkondisikan.
“Oalah Zul, kamu bukan anak baru di sini. Koq masih takut.” Bu Nun merapikan kembali ruangan yang sempat kacau. “Keluarga pasien memang begitu, apalagi kalau sudah gawat, adanya emosi semua. Nggak kita, nggak mereka. Sesekali membentak tidak apa, buat kebaikan pasien juga. Ini kan rumah sakit, bukan rumah mereka. Kalau mereka balik marah ya gimana lagi tugas kita menenangkan, mengingatkan.”
Bu Nun masih terus menyibukkan diri mengatur ini dan itu. Sesekali berbincang dengan petugas administrasi. Lalu berpindah ke ruang sebelah dan masuk lagi dengan setumpuk kertas atau sekotak peralatan. Mendorong kursi roda. Menerima telepon dokter lalu segera keluar lagi. Kami semua kembali sibuk membantu dokter yang sedang memeriksa beberapa pasien lain dengan keluhan-keluhan ringan.
Saat istirahat siang di kantin, Bu Nun melanjutkan obrolan kami. Mungkin ia khawatir ketakutan yang sempat kuutarakan akan mengganggu kinerja kami.
“Atau kamu masih takut lihat orang sakaratul maut? Semua yang hidup itu pasti mati, Zul,” Kalimat itu lagi. “Tidak seharunya kita takut. Apalagi kerja di rumah sakit. Pilihannya hanya dua, lihat pasien jadi sembuh atau kalau beruntung ya melihat kepergiannya.”
“Beruntung Bu?”
Perempuan dua belas tahun lebih tua dariku itu tersenyum, “Iya. Ibu belajar banyak tentang menghadapi saat-saat seperti itu dari mereka yang sakit atau telah pergi. Seperti kamu, dulu ibu sering nggak tega. Bahkan sampai sekarang wajah beberapa dari mereka masih ada yang belum bisa ibu lupakan.”
Ia masih sering menyembunyikan rasa harunya setelah membantu dokter menangani dan memeriksa pasien. Meski sering marah pada juniornya, aku tahu hatinya lembut sekali.
“Kalau beruntung lagi kita bisa membantu mereka mengakhiri ucap lisannya dengan menyebut nama Allah,” tambahnya.
Bu Nun benar, aku sudah cukup lama berkarib dengan episode-episode tak menyenangkan bahkan dengan hasil akhir lebih buruk dari kejadian pagi ini. “Belajar dari setiap kasus akan mendewasakan kita,” katanya setahun yang lalu. Memahami apa yang kami kerjakan. Mengerti alur kehidupan. Tapi entahlah, tentang takut yang dijawab perawat bertubuh tambun itu bukanlah yang sedang menimpaku.
Ruangan kecil itu semakin hari semakin membuatku merasakan keganjilan. Sepertinya orang yang sering kuajak bicara ini belum juga menangkap kegelisahanku sejak kumasuki ruang mayat beberapa minggu yang lalu. Bermula dari sana, perasaan ganjil itu baru kusadari saat mengantar jenazah seorang bayi, ikut memandikannya dan memastikan kain kafan sempurna menutupi tubuh mungilnya. Wajah kecil dengan mata tertutup itu.
Perasaan takut bercampur ngeri itu sepersekian detik mendadak muncul lagi ketika kuletakkan tanganku di atas dada lelaki berbaju biru. Bu Nun dan keluarga histeris tadi mungkin tak sempat memperhatikan. Terlalu sibuk mencoba menunda kematian yang jelas tak pernah kita ketahui kapan datang dan tak bisa ditunda atau disegerakan.
“Zul, Ibu sudah sering dengar cerita ini. Apa kamu ngerasa aneh setelah dari ruangan itu?” Ia menunjuk ke arah kamar mayat di ujung koridor sebelah. “Melihat yang tidak-tidak?”
Membayangkan yang tidak-tidak membuat tubuhku bereaksi. Bulu kudukku berdiri. Tapi demi meluruskan pemikiran tentang yang tidak-tidak, dengan tegas aku menggeleng. “Bukan Bu, bukan itu.” Suara sendok yang beradu dengan piring dan gelas kembali mengisi kekosongan pembicaraan.
Belum lagi nasi yang kami makan sampai ke lambung, Pak Dir lagi-lagi masuk dengan muka cemas. Di atas bed yang didorongnya terbujur tubuh seorang remaja cantik. Bau minuman keras menyeruak seketika. Kasus keracunan. Over dosis mungkin.
Mukanya pucat, tubuhnya kejang dan mulutnya mengeluarkan busa. Dari keterangan sopir langganannya, ia sudah muntah-muntah sejak masuk ke dalam taksi.
            Tak perlu komando, dokter langsung bertindak. Keributan tanpa suara kembali mengisi ruangan ini. CPR, intubasi, semua kami lakukan, sebagian demi nama kemanusiaan dan sebagian demi nama pekerjaan.
          14:48. Seorang dokter mengisyaratkan padaku untuk mengabarkan berita duka pada keluarganya.
                Lobi sepi. Sopir taksi sudah pergi. Hanya ada seorang ibu yang duduk dengan pandangan kosong. Di sana bercampur antara duka, marah, sesal. Si ibu berdiri demi melihatku membuka pintu.
Kasus kematian pertama hari ini adalah yang kedua puluh sekian bagiku. Ketenangan yang mengerikan itu kembali menjalar.
“Maaf ibu, kami sudah berusaha, pasien atas nama Ayu Rahmi meninggal...,” tangis pun pecah. Si ibu berlari masuk.
Mata perempuan cantik itu tertutup rapat. Inilah saat jasadnya tak lagi menjadi kuasanya. Saat tiada lagi yang menjadi perhatiannya selain dirinya sendiri. Merinding membayangkan kita akan kembali sendiri. Tubuh ini akan kembali melebur bersama tanah sedangkan jiwa akan kembali pada zat Maha Agung.
Kusempatkan memohon agar ia mendapat tempat terbaik.
Cukup lama pandanganku lekat ke arah pasien terakhir itu saat Bu Nun menepuk bahuku, “Sudah nggak usah sedih. Keluarga sudah mengikhlaskannya, Nak.”
“Bu Nun,” panggilanku yang tanpa suara ternyata sampai di telinganya. Saat melihat air mata sesal Si Ibu yang menghujani tubuh kaku itu dengan ciuman aku jadi mengerti. Aku tahu, apa yang selama ini meresahkanku. Apa yang kutakutkan. Sesuatu yang dingin ini.
Perempuan yang sudah sepuluh tahun jadi perawat itu memandangku lekat dan akhirnya mulai mengerti keresahanku selama ini. Ia kembali mendekat dan lirih mengatakan sesuatu.
Kesedihan yang selama ini hadir rasa-rasanya telah mati. Aku mencoba mencari tapi percuma. Air mata atau bahkan sedikit rasa haru juga tak tersisa. Rasanya tetap biasa. Dingin.
Pekerja seperti kita dianugerahi kematian seperti itu, Zulfa. Setelah melihat sendiri sekian kali kepergian kita jadi pandai mengendalikannya. Jadilah biasa. Akalmu memberi kesan tak peduli. Mungkin karena mereka adalah orang-orang yang tak pernah kita kenal. Mungkin juga karena kita mulai paham bahwa tak ada yang istimewa tentang kematian kecuali tentang bagaimana seseorang itu telah menjalani hidupnya.


Yogyakarta, atas cerita dari kawan, selesai saat jaga toko
24/02/2015

Sunday 8 March 2015


sayangku
Berapapun waktu luang yang kau punya, cobalah untuk membaca, bahkan jika tak satu tulisan pun di tanganmu saat itu, cobalah kau lihat sekelilingmu dan perhatikan apa yang terjadi. Renungkanlah dan berpikirlah.
sayangku
Ketika kau telah selesai membaca, tuliskanlah segala hal yang terlintas di benakmu, entah tentang tulisan itu atau pemikiran yang muncul karena membacanya.
sayangku
Jika kau suka melakukan suatu hal maka lakukanlah yang terbaik tetapi jangan sampai berlarut tanpa melakukan kebaikan yang lain, sebab aku takut kau akan bosan dengan kebaikan itu atau jika itu adalah suatu keburukan maka akan semakin banyak maksiat yang kau kerjakan.