Setelah menyelesaikan
urusan laundry dan sebuah rapat
penting--walaupun akhirnya masih
meninggalkan jemuran dan piring kotor—kami, aku dan tukang ojekku
(haha,.becanda Ning, my best friend
yang udah nganter ke stasiun) bergegas menuju stasiun besar Tugu Yogyakarta. Saat
itu masih berharap bisa mengejar kereta Prameks tujuan Solo. Tepatnya tujuan kita kali ini adalah Purwosari. Tapi
kejadian ketinggalan kereta yang bagiku sudah ketiga kalinya pun benar-benar
terjadi. Terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Haha. Baiklah bagaimana kalau
naik bus saja. Oh, ternyata My Mom
yang mau kutemui di Solo masih mau mampir ke makam Pak Suharto (dimana ya??). Jadilah kami, aku dan Ning keluar stasiun
hendak menuju terminal bus. Tapi lalu perang terjadi antara kubu yang
mempertahankan kereta dan yang berinisiatif aktif menginginkan bus
antar-kota-antar-provinsi. Maka sidang memutuskan untuk kembali memasuki arena
stasiun dan mencari bukti-bukti serta keterangan otentik tentang jadwal kereta
selanjutnya. Benar saja, jaksa penuntut umum kalah. Dia tidak bisa
mempertahankan argumen bahwa naik bus merupakan solusi terbaik, sebab ternyata
di lapangan ditemukan bahwa ada kereta ke Solo pukul 12.00..hahaha…alhamdulillah.
Sidang pun ditutup.
Dibalik setiap
kejadian pasti ada hikmah. Benar. Hikmah
besar dari ketinggalan kereta jam 11 adalah satu; bisa tilawah beberapa halaman sambil nunggu kereta jam 12, dua; bisa minum sekaleng susu dulu, dan tiga; kalau sampai solo
masih jam 12 berarti saya harus menunggu jemputan selama 4 jam karena akhirnya
jemputan datang pukul empat sore. Lumayan,
berkurang satu jam nunggu kayak orang ilang.
Kereta tlah
tiba…kereta tlah tiba…hore hore hore. Awalnya saya pikir (kebanyakan mikir ya)
itu kereta salah jalur dan keretaku
belumlah datang. Salah. Itulah keretaku. Wah, keren. Bukanlah kereta
ekonomi biasa dengan corak abu-abu kuning, tetapi kereta ekonomi non AC yang
pintunya bisa buka nutup sendiri (berasa di luar negeri, berasa ndeso, haha) dengan corak abu-abu, kuning, dan ungu. Inilah
kereta Sri Wedari (yang mirip
Prameks) dengan rute Yogyakarta Tugu, Yogyakarta Lempuyangan, Maguwo, Klaten,
Solo Purwosari, dan Solo Balapan. Untuk non AC harga tiketnya 10.000 rupiah.
Mendengar
percakapan dua orang mahasiswi di kursi sebelah. Huruf-huruf diperbincangkan. A
C D E. Protes pada dosen yang memberi nilai. Sementara di sebelah kiri ada
penjual roti maryam khas stasiun yang tempo hari ingin dibeli teman
sekontrakanku. Terpampang tulisan “jual roti maryam Rp 4000”. Kubawakan fotonya saja ya. Foto
bapak-bapak yang tiba-tiba menghilang bersama dagangannya setelah kerumunan
calon penumpang kereta berubah sepi berganti dentang bel keberangkatan.
Sambil menunggu
jemputan, alangkah bijaknya untuk menikmati se-cup mie hangat. Tapi
sama mbak penjualnya nggak boleh makan di kursi depan warungnya. Wah..kenapa??
oh ternyata, usut punya usut, meja kursi itu bukan milik si mbak. Jadi daripada
kena marah warung sebelah si mbak menasehatiku untuk makan di tempat tunggu
saja. Saya pikir…ada satpam yang bakal melarang, aneh, padahal jelas-jelas itu
warung makan. Ternyata pikiran dan kesimpulan pribadi saya salah. Haha. Oke mbak.
Siap.
Motor kuning ini.....
Makan srabi sambil nunggu di halte bus Batik Solo Trans...
Dan penantian
pun berakhir tiga jam kemudian…
Mari jelajahi
Solo next time…saatnya pulang…
Sjm
No comments:
Post a Comment