Thursday 5 February 2015

ANGIN TIMUR

Angin yang bertiup kencang dari arah timur membuatnya terlalu sibuk untuk mencegah jubah besar dan kain panjang yang menutup seluruh tubuhnya terbuka. Ia tak lagi memperhatikan para lelaki yang sibuk menarik unta-untanya. Wanita-wanita lainnya berpegangan satu sama lain membentuk lingkaran, berusaha melindungi anak-anak mereka.
Sebuah tangan tiba-tiba meraih lengan gadis itu dan menariknya memasuki rombongan wanita-wanita. Lalu mereka berjalan perlahan ke balik bukit pasir menghindari angin timur yang tertiup semakin kencang dari belakang. Badai pasir memaksa mereka menghentikan perjalanan itu. Perjalanan yang telah banyak membuat orang menjadi gila.
 Sudah setahun setelah ia memutuskan menjalani pilihan hidupnya dan meninggalkan sebuah ruangan kecil dengan bertumpuk-tumpuk buku. Orang-orang menyebutnya perpustakaan tapi ia melihatnya tak lebih seperti gudang tua yang lambat laun ditinggalkan. Ia mengingat kembali percakapan dengan seorang guru yang tak sengaja di temuinya.
“Di sinilah hartaku berada, Tuan. Aku bisa menjelajahi dunia tanpa meninggalkan kursi dan meja kayu ini. Banyak kisah bisa kubaca dan kembali kuceritakan seperti para ilmuwan yang mengetahui banyak hal.”
“Nira,” Tuan yang telah datang berkunjung beberapa kali itu menyebut nama anak gadis itu.
“Tidakkah kau melihat tempat ini terlalu sempit untuk menjelajahi dunia?”
 “Aku juga ingin, tapi aku tak tahu caranya Tuan. Pun aku tak tahu apakah duniaku sekarang ini memperbolehkan.”
“Tak ada yang bisa menghalangi seseorang untuk belajar bukan?” Pertemuan terakhir dengan tuan yang telah membaca lebih dari seratus buku itu menggelitik rasa ingin Nira untuk sesegera mungkin meninggalkan ruangan nyaman itu. Maka, di sinilah ia sekarang berada. Di tengah rombongan orang-orang asing dengan rasa ingin tau yang mungkin sama.
“Perjalanan adalah salah satu cara untuk menemukan dirimu sendiri. Bukan tak mungkin kau akan menemukan dirimu dalam dirimu sendiri tapi kebanyakan kau akan menemukan dirimu melalui pertemuan dengan orang lain. Setiap jiwa ditakdirkan untuk saling bercermin. Cermin yang kau temui tak mesti bersih dan mudah memantulkan bayanganmu. Bisa saja ia adalah cermin yang buram. Tapi cermin tetaplah cermin. Jika kau mau dan mampu membersihkan noda yang menutupinya dengan kain kebijaksanaan bisa dipastikan kau akan melihat wajah bercahaya tanpa dosa. Sayangnya debu-debu pasir di dunia ini terkadang lebih sering menutupi wajah itu.” Seorang kakek membagi ceritanya di tengah segerombol wanita yang sedang memasak di atas api unggun.


No comments:

Post a Comment