Angin yang bertiup kencang
dari arah timur membuatnya terlalu sibuk untuk mencegah jubah besar dan kain
panjang yang menutup seluruh tubuhnya terbuka. Ia tak lagi memperhatikan para
lelaki yang sibuk menarik unta-untanya. Wanita-wanita lainnya berpegangan satu
sama lain membentuk lingkaran, berusaha melindungi anak-anak mereka.
Sebuah tangan tiba-tiba
meraih lengan gadis itu dan menariknya memasuki rombongan wanita-wanita. Lalu
mereka berjalan perlahan ke balik bukit pasir menghindari angin timur yang tertiup
semakin kencang dari belakang. Badai pasir memaksa mereka menghentikan
perjalanan itu. Perjalanan yang telah banyak membuat orang menjadi gila.
Sudah setahun setelah ia memutuskan menjalani
pilihan hidupnya dan meninggalkan sebuah ruangan kecil dengan bertumpuk-tumpuk
buku. Orang-orang menyebutnya perpustakaan tapi ia melihatnya tak lebih seperti
gudang tua yang lambat laun ditinggalkan. Ia mengingat kembali percakapan
dengan seorang guru yang tak sengaja di temuinya.
“Di sinilah hartaku
berada, Tuan. Aku bisa menjelajahi dunia tanpa meninggalkan kursi dan meja kayu
ini. Banyak kisah bisa kubaca dan kembali kuceritakan seperti para ilmuwan yang
mengetahui banyak hal.”
“Nira,” Tuan yang telah
datang berkunjung beberapa kali itu menyebut nama anak gadis itu.
“Tidakkah kau melihat
tempat ini terlalu sempit untuk menjelajahi dunia?”
“Aku juga ingin, tapi aku tak tahu caranya
Tuan. Pun aku tak tahu apakah duniaku sekarang ini memperbolehkan.”
“Tak ada yang bisa
menghalangi seseorang untuk belajar bukan?” Pertemuan terakhir dengan tuan yang
telah membaca lebih dari seratus buku itu menggelitik rasa ingin Nira untuk
sesegera mungkin meninggalkan ruangan nyaman itu. Maka, di sinilah ia sekarang
berada. Di tengah rombongan orang-orang asing dengan rasa ingin tau yang
mungkin sama.
“Perjalanan adalah salah
satu cara untuk menemukan dirimu sendiri. Bukan tak mungkin kau akan menemukan
dirimu dalam dirimu sendiri tapi kebanyakan kau akan menemukan dirimu melalui
pertemuan dengan orang lain. Setiap jiwa ditakdirkan untuk saling bercermin.
Cermin yang kau temui tak mesti bersih dan mudah memantulkan bayanganmu. Bisa
saja ia adalah cermin yang buram. Tapi cermin tetaplah cermin. Jika kau mau dan
mampu membersihkan noda yang menutupinya dengan kain kebijaksanaan bisa dipastikan
kau akan melihat wajah bercahaya tanpa dosa. Sayangnya debu-debu pasir di dunia
ini terkadang lebih sering menutupi wajah itu.” Seorang kakek membagi ceritanya
di tengah segerombol wanita yang sedang memasak di atas api unggun.
No comments:
Post a Comment