Tuesday 17 March 2015

MATI


             Batu kecil di tanganku ini begitu dingin. Apa bedanya aku dan batu ini. Menjadi keras dan membuatku takut sendiri.
Sudah pagi lagi. Sejak mulai bekerja dua tahun yang lalu, rasanya pagi cepat sekali datang kembali. Belum tuntas rasanya kurebahkan badan ini di atas kasur tipis pemberian mamak, adzan subuh sudah terdengar memanggil. Kupaksakan kaki ini melangkah meninggalkan rayuan setan di dekat telinga untuk segera menyentuh air pagi yang selalu lebih dingin.
Setiap membaca bismillah, aku ingat guru ngajiku dulu menyanyikannya, “Baca bismillah sambil cuci tangan,” dan seterusnya hingga ke kaki. Kutunaikan wudlu untuk menyucikan diri lalu bergegas menyusul jama’ah kawan-kawan sekontrakan.
Sekotak nasi dengan telur ceplok dan sambel kecap menjadi bekal hari ini. Kalau dapat giliran jaga pagi, maka sudah tak sempat menikmati sarapan bersama yang lain.
“Ratna, semua, berangkat ya.”
“Iya mbak Zul. Nanti pulang malam lagi?”
“Iya, mau mampir cari martabak telur. Nantilah kita bagi-bagi,” seisi rumah pun bersorak.
“Sudah siap men-talqin­ orang lagi, Zul?” pertanyaan itu seketika menghentikan candaku dan kembali mengingat mati.
Sejak lahir, aku sudah akrab dengan rumah sakit dan paling tidak suka dengan yang namanya perawat. Tapi mungkin karena benci sangat dekat dengan cinta, kini profesi itu menghidupiku. Giliranku memaksa orang lain minum obat ini itu.
Macet mengharuskanku berangkat bekerja bersamaan dengan jam kerja ayam jantan agar bisa sampai di ruangan ini tepat waktu. Satu-satunya ruangan paling sibuk di rumah sakit. Unit yang paling dihindari oleh orang-orang yang takut darah. Instalasi Gawat Darurat.
Suasana masih cukup tenang sebelum Pak Dir datang tergopoh-gopoh dari arah pintu utama. “Mbak, ada yang mau masuk.” Oh, Tuhan, tugas datang. Panggilan tugas lebih utama daripada panggilan cacing-cacing dalam perutku sepagi ini.
                “Iya, Pak. Minta tolong dibawa masuk. Saya panggilkan dokternya.”
             Rumah sakit cukup sibuk sejak kemarin. Dokter belum juga datang hingga para perawat senior memutuskan untuk segera menangani pasien yang sudah sulit bernafas. Ruangan menjadi lebih ramai dan kedatangan pengantar pasien itu sulit dikendalikan.
                “Bapak dan ibu harap tunggu di luar. Pasien akan segera kami periksa. Pasien membutuhkan ruang untuk bernafas. Kami akan....,” kalimat dari mulutku belum sampai titik saat Bu Nun menyatakan pasien tidak lagi bernafas. Kami semua, tiga perawat yang sedang berjaga langsung mendekat dan memastikan pasien masih dalam kondisi memungkinkan untuk kami tarik kembali.
           “Zulfa,” Bu Nun, perawat paling senior masih dalam keadaan tenang saat menyuruhku melakukan CPR. Tubuh itu telentang dihadapanku dan tak bergerak sedikitpun. Aku tertegun sejenak, sebelum akhirnya dengan sangat mengejutkan ketenangan yang cukup mengerikan mengalir dalam dadaku. Kukaitkan kedua tanganku dan kuletakkan di atas dada laki-laki berbaju biru itu.
                Tap...tap...tap...
               Berulang kali kutekan untuk membuat jantungnya kembali berdetak. Membuka lagi jalan nafasnya.
                Entah mungkin sudah berulangkali melakukannya atau bagaimana, aku masih cukup kuat meneruskan menekan bagian jantungnya bahkan cukup kuat untuk berteriak kepada keluarga pasien untuk berhenti menjerit dan menangis. Tetapi bak api yang menjalari kayu bakar berlumur bensin, berita kematian terlanjur memenuhi udara dalam ruangan sempit itu. Seorang pasien lain yang ikut menyaksikan episode itu ikut menjadi panik. Tekanan darahnya meningkat cepat.
Untunglah satpam segera datang mengusir keluar keluarga pasien dengan lebih lembut meski tampang mereka lebih menakutkan. Dokter pun datang dan mengevaluasi usaha kami. Detak detik yang cepat berganti tak sejalan dengan gerakan kami yang bagiku semakin melambat. Setiap orang pasti mati. Aku ingat baris itu seketika. Tapi pekerjaan kami mengharuskan untuk memperjuangkan denyut kehidupan sekecil apapun kemungkinannya.
Nafas lelaki itu kembali terdengar tapi sangat lemah. Keluarga pasien sudah bisa mengontrol diri. Tersisa dua orang yang ngotot ingin menunggui pasien. Pasien lain yang telah tertangani segera kami pindahkan ke ruang inap agar lebih nyaman.
“Bu Nun, saya takut,” kuberanikan membuka percakapan setelah situasi terkondisikan.
“Oalah Zul, kamu bukan anak baru di sini. Koq masih takut.” Bu Nun merapikan kembali ruangan yang sempat kacau. “Keluarga pasien memang begitu, apalagi kalau sudah gawat, adanya emosi semua. Nggak kita, nggak mereka. Sesekali membentak tidak apa, buat kebaikan pasien juga. Ini kan rumah sakit, bukan rumah mereka. Kalau mereka balik marah ya gimana lagi tugas kita menenangkan, mengingatkan.”
Bu Nun masih terus menyibukkan diri mengatur ini dan itu. Sesekali berbincang dengan petugas administrasi. Lalu berpindah ke ruang sebelah dan masuk lagi dengan setumpuk kertas atau sekotak peralatan. Mendorong kursi roda. Menerima telepon dokter lalu segera keluar lagi. Kami semua kembali sibuk membantu dokter yang sedang memeriksa beberapa pasien lain dengan keluhan-keluhan ringan.
Saat istirahat siang di kantin, Bu Nun melanjutkan obrolan kami. Mungkin ia khawatir ketakutan yang sempat kuutarakan akan mengganggu kinerja kami.
“Atau kamu masih takut lihat orang sakaratul maut? Semua yang hidup itu pasti mati, Zul,” Kalimat itu lagi. “Tidak seharunya kita takut. Apalagi kerja di rumah sakit. Pilihannya hanya dua, lihat pasien jadi sembuh atau kalau beruntung ya melihat kepergiannya.”
“Beruntung Bu?”
Perempuan dua belas tahun lebih tua dariku itu tersenyum, “Iya. Ibu belajar banyak tentang menghadapi saat-saat seperti itu dari mereka yang sakit atau telah pergi. Seperti kamu, dulu ibu sering nggak tega. Bahkan sampai sekarang wajah beberapa dari mereka masih ada yang belum bisa ibu lupakan.”
Ia masih sering menyembunyikan rasa harunya setelah membantu dokter menangani dan memeriksa pasien. Meski sering marah pada juniornya, aku tahu hatinya lembut sekali.
“Kalau beruntung lagi kita bisa membantu mereka mengakhiri ucap lisannya dengan menyebut nama Allah,” tambahnya.
Bu Nun benar, aku sudah cukup lama berkarib dengan episode-episode tak menyenangkan bahkan dengan hasil akhir lebih buruk dari kejadian pagi ini. “Belajar dari setiap kasus akan mendewasakan kita,” katanya setahun yang lalu. Memahami apa yang kami kerjakan. Mengerti alur kehidupan. Tapi entahlah, tentang takut yang dijawab perawat bertubuh tambun itu bukanlah yang sedang menimpaku.
Ruangan kecil itu semakin hari semakin membuatku merasakan keganjilan. Sepertinya orang yang sering kuajak bicara ini belum juga menangkap kegelisahanku sejak kumasuki ruang mayat beberapa minggu yang lalu. Bermula dari sana, perasaan ganjil itu baru kusadari saat mengantar jenazah seorang bayi, ikut memandikannya dan memastikan kain kafan sempurna menutupi tubuh mungilnya. Wajah kecil dengan mata tertutup itu.
Perasaan takut bercampur ngeri itu sepersekian detik mendadak muncul lagi ketika kuletakkan tanganku di atas dada lelaki berbaju biru. Bu Nun dan keluarga histeris tadi mungkin tak sempat memperhatikan. Terlalu sibuk mencoba menunda kematian yang jelas tak pernah kita ketahui kapan datang dan tak bisa ditunda atau disegerakan.
“Zul, Ibu sudah sering dengar cerita ini. Apa kamu ngerasa aneh setelah dari ruangan itu?” Ia menunjuk ke arah kamar mayat di ujung koridor sebelah. “Melihat yang tidak-tidak?”
Membayangkan yang tidak-tidak membuat tubuhku bereaksi. Bulu kudukku berdiri. Tapi demi meluruskan pemikiran tentang yang tidak-tidak, dengan tegas aku menggeleng. “Bukan Bu, bukan itu.” Suara sendok yang beradu dengan piring dan gelas kembali mengisi kekosongan pembicaraan.
Belum lagi nasi yang kami makan sampai ke lambung, Pak Dir lagi-lagi masuk dengan muka cemas. Di atas bed yang didorongnya terbujur tubuh seorang remaja cantik. Bau minuman keras menyeruak seketika. Kasus keracunan. Over dosis mungkin.
Mukanya pucat, tubuhnya kejang dan mulutnya mengeluarkan busa. Dari keterangan sopir langganannya, ia sudah muntah-muntah sejak masuk ke dalam taksi.
            Tak perlu komando, dokter langsung bertindak. Keributan tanpa suara kembali mengisi ruangan ini. CPR, intubasi, semua kami lakukan, sebagian demi nama kemanusiaan dan sebagian demi nama pekerjaan.
          14:48. Seorang dokter mengisyaratkan padaku untuk mengabarkan berita duka pada keluarganya.
                Lobi sepi. Sopir taksi sudah pergi. Hanya ada seorang ibu yang duduk dengan pandangan kosong. Di sana bercampur antara duka, marah, sesal. Si ibu berdiri demi melihatku membuka pintu.
Kasus kematian pertama hari ini adalah yang kedua puluh sekian bagiku. Ketenangan yang mengerikan itu kembali menjalar.
“Maaf ibu, kami sudah berusaha, pasien atas nama Ayu Rahmi meninggal...,” tangis pun pecah. Si ibu berlari masuk.
Mata perempuan cantik itu tertutup rapat. Inilah saat jasadnya tak lagi menjadi kuasanya. Saat tiada lagi yang menjadi perhatiannya selain dirinya sendiri. Merinding membayangkan kita akan kembali sendiri. Tubuh ini akan kembali melebur bersama tanah sedangkan jiwa akan kembali pada zat Maha Agung.
Kusempatkan memohon agar ia mendapat tempat terbaik.
Cukup lama pandanganku lekat ke arah pasien terakhir itu saat Bu Nun menepuk bahuku, “Sudah nggak usah sedih. Keluarga sudah mengikhlaskannya, Nak.”
“Bu Nun,” panggilanku yang tanpa suara ternyata sampai di telinganya. Saat melihat air mata sesal Si Ibu yang menghujani tubuh kaku itu dengan ciuman aku jadi mengerti. Aku tahu, apa yang selama ini meresahkanku. Apa yang kutakutkan. Sesuatu yang dingin ini.
Perempuan yang sudah sepuluh tahun jadi perawat itu memandangku lekat dan akhirnya mulai mengerti keresahanku selama ini. Ia kembali mendekat dan lirih mengatakan sesuatu.
Kesedihan yang selama ini hadir rasa-rasanya telah mati. Aku mencoba mencari tapi percuma. Air mata atau bahkan sedikit rasa haru juga tak tersisa. Rasanya tetap biasa. Dingin.
Pekerja seperti kita dianugerahi kematian seperti itu, Zulfa. Setelah melihat sendiri sekian kali kepergian kita jadi pandai mengendalikannya. Jadilah biasa. Akalmu memberi kesan tak peduli. Mungkin karena mereka adalah orang-orang yang tak pernah kita kenal. Mungkin juga karena kita mulai paham bahwa tak ada yang istimewa tentang kematian kecuali tentang bagaimana seseorang itu telah menjalani hidupnya.


Yogyakarta, atas cerita dari kawan, selesai saat jaga toko
24/02/2015

No comments:

Post a Comment