picture source: www.pinterest.com
Penulis :
George Orwell
Penerjemah :
Bakdi Soemanto
Genre :
Novel
Penerbit :
BENTANG PUSTAKA
Tahun terbit :
2015
Tebal :
140 halaman
Terjadi sebuah pemberontakan di peternakan Manor milik
Pak Jones yang diprakarsai oleh seekor babi bernama Major. Sebelum pemberontakan
benar-benar dilakukan, Si Tua Major mati, tapi semangat yang ia tularkan lewat
lagu “Binatang Inggris” telah berkobar dalam diri para binatang. Pada suatu
malam mereka pun berhasil mengusir Pak Jones dan istrinya keluar dari
peternakan. Semenjak itu para binatanglah yang menentukan nasib mereka sendiri.
Karena para babi dianggap yang paling pintar, segala
urusan yang membutuhkan pemikiran diserahkan pada mereka, terutama dua babi
cerdas Napoleon dan Snowball. Di sinilah bermula lahirnya penguasa yang baru
setelah para manusia pergi. Tapi dual kepemimpinan dimanapun tidak akan pernah
berhasil. Indikasi persaingan tak sehat dan propaganda sedikit demi sedikit
mulai nampak di antara para babi yang tidak cukup dipahami oleh binatang lain
yang bahkan tak bisa mengeja huruf alfabet dengan benar.
Dapatkah peternakan berjalan lebih baik dengan perginya
manusia? Tidakkah manusia berusaha kembali ke peternakan? Berhasilkah
kesejahteraan diraih oleh semua jenis binatang seperti yang diwacanakan Si Tua
Major di bawah kepemimpinan babi rakus yang digambarkan cerdas ini?
***
Berawal dari perkenalan dengan penulisnya, Goerge Orwell
(sudah banyak tulisan tentangnya), lewat kutipannya “Journalism is printing
what someone else does not want printed. Everything else is public relation”,
novel dengan tokoh utama babi ini berhasil menarik perhatian saya. Karya ini
adalah satu dari dua karya penulis yang melejitkan namanya. Novel keduanya yang
berjudul “1984” selesai ditulisnya satu tahun sebelum meninggal pada tahun
1950. Novel “Peternakan Binatang” ini ditulis pada masa perang dunia ke 2 yang
dilabeli sebagai alegori politik yang unik terhadap Uni Soviet. Kamu bisa baca
tulisan di sini untuk lebih lengkapnya
Alur cerita sebenarnya mudah dibaca yaitu dimulai
semenjak babi bernama Napoleon berkuasa. Akan terjadi kedzaliman terhadap para
binatang lain yang dalam buku ini digambarkan lebih bodoh dari para babi. Tapi menurut
saya yang membuat menarik adalah bahwa penulis berhasil membuat alur cerita
yang tidak membosankan dan selalu mencengangkan di setiap babnya. Perlahan
sisi-sisi negatif babi yang dianggap cerdas itu dibuka satu-persatu di depan
para binatang lain yang masih saja loyal karena kebodohan mereka sendiri.
Seakan-akan rakyat mendapatkan kesejahteraan, namun
dibalik itu para penguasa berhasil menyembunyikan kebohongan-kebohongan demi
kesejahteraan mereka. Beberapa hal negatif dari penguasa yang oleh penulis disampaikan
dengan caranya yang unik antara lain bermula dari penggulingan kekuasaan,
dihapuskannya kebebasan berpendapat, permainan statistik, mencari kambing
hitam, propaganda media (melalui penyebaran berita yang simpang siur), hingga kesepakatan-kesepakatan
dengan pihak musuh (manusia) yang hanya menguntungkan penguasa. Sampai hari ini
isu yang diangkat dalam cerita masih sangat relevan dengan keadaan sekarang
sebab sepertinya memang sindrom penguasa dimanapun sama.
Meskipun tidak tebal, novel ini jelas bukan bacaan yang
ringan. Sedikit kaget juga waktu membuka salah satu toko buku online yang
mengkategorikannya jadi buku anak-anak. Meskipun dikemas dalam cerita fabel,
mengingat isinya saya kurang setuju kalau dikategorikan demikian.
Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Harcourt Braces
Company di Inggris tahun 1946, sesaat setelah peristiwa Hiroshima. Pinguin
Books menerbitkannya lagi pada tahun 1980. Lalu untuk terjemahan Bahasa
Indonesianya sudah beberapa kali. Pernah diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi
dengan judul Binatangisme. Pada 2001 diterbitkan oleh Sumbu
(Yogyakarta). Di tahun 2006 diterbitkan oleh Fresh Book (Jakarta). Tahun 2014
diterbitkan oleh Titah Surga.
Sebagai novel terjemahan, dari segi bahasa dalam novel
terbitan Bentang ini penulis menggunakan beberapa istilah yang agak asing
didengar seperti memilih kata terwelu daripada menulis kelinci, lalu beberapa
kata di bab 2 seperti dirangket, dilepa, dan ambing. Mungkin hal ini
dipengaruhi juga oleh penerjemahnya yang sudah senior yaitu Profesor Doktor
Christoporus Soebakdi Soemanto dengan nama pena Bakdi Soemanto. Beliau adalah
sastrawan lulusan Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Pernah meraih Nobel
sastra pada 1969. Aktif melahirkan karya sastra puisi dan cerpen maupun
terjemahan serta menjadi salah satu pendiri Bengkel Teater pada 1967.
Sebagai karya sastra klasik, novel ini telah banyak menerima
penghargaan antara lain Retro Hugo Award (1996) sebagai novela terbaik,
Prometheus Hall of Fame (2011), satu dari 100 buku berbahasa inggris terbaik
versi majalah Times, urutan ke 31 Modern Library List of Best 20th
century Novels, dan sempat menjadi satu dari Great Books of the Western World.
Anyway, happy reading guys.
No comments:
Post a Comment