Saturday 2 May 2015

PELATIHAN MANAJEMEN TPA (TAMAN PENDIDIKAN AL-QUR'AN)


Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam Universitas Islam Indonesia kembali mengadakan pelatihan bagi pengajar TPA di Yogyakarta. Peserta dari berbagai TPA turut serta dalam acara yang dilaksanakan pada 18 April 2015 itu. Peserta bervariasi dari perwakilan TPA yang telah mendapat nilai hasil evaluasi A hingga yang masih tingkat mula atau baru dimulai.
Seluruh peserta baik putra maupun putri tampak antusias dalam mengikuti pelatihan tersebut. Pemberian materi dibagi dalam tiga sesi. Sesi pertama tentang pengelolaan TPA dan kelas disampaikan oleh Joko Prayitno, S.Psi. Kemudian dijelaskan mengenai psikologi anak usia dini dan SD oleh Pihasni Wati, S.Psi., M.Psi. Terakhir adalah sesi bersama Ustadz Abu Hanifah yang memberikan metode penyampaian materi melalui berbagai media permainan yang menyenangkan.
Berikut adalah catatan sesi pertama dan kedua, semoga bermanfaat bagi yang belum berkesempatan hadir.
“Hendaklah yang hadir dari kalian, menyampaikan kepada yang tidak hadir” (HR Bukhari dan Muslim)
SESI PERTAMA
Pak Joko memulainya dengan memberikan kesempatan kepada seluruh peserta untuk menuliskan permasalahan di TPA masing-masing. Jika disimpulkan permasalahan yang sering dialami adalah guru yang banyak tapi jarang datang, santri yang sulit diarahkan atau hiperaktif, dan tidak meratanya kualitas pengajar. Mengacu dari permasalahan tersebut, Pak Joko menjelaskan bahwa agar sebuah TPA dapat dikatakan berjalan dengan sehat maka harus terpenuhi unsur-unsurnya yaitu memiliki tujuan, guru, santri, susunan materi, pengaturan organisasi, sumber dana, sarana dan prasarana serta memiliki alat evaluasi baik unit maupun lomba untuk santri.
Pertama, sebagaimana sebuah organisasi dijalankan, maka TPA harus memiliki tujuan dan visi-misi yang jelas. Tujuan yang dicanangkan di depan akan membantu mengawal arah pengelolaan TPA. Kemudian, sebelum disibukkan dengan mencari santri atau peserta didik, hal kedua yang harus dipersiapkan adalah guru. Kebutuhan terhadap guru berhubungan dengan dua bentuk pengajaran yaitu secara privat ataukah klasikal. Untuk privat perbandingan idealnya adalah 1 guru untuk 5-6 santri. Sedangkan untuk klasikal perbandingan idealnya adalah 1 guru untuk 30 santri.
Permasalahan guru akan muncul jika jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah santri yang datang mengaji. Pak Joko memberikan beberapa alternatif pengajaran untuk mengatasinya yaitu dengan membuat shift kelas. Santri dibagi dalam kelompok-kelompok yang memiliki jadwal masuk berbeda, sehingga guru tidak kewalahan mengajar terlalu banyak murid dalam satu waktu.
Selain itu permasalahan yang sering dihadapi adalah kualitas pengajar yang belum sama. Pak Joko mengingatkan bahwa jika bersedia ada sertifikasi untuk pengajar TPA. Jika ternyata kemampuan guru tidak merata, maka sebisa mungkin dibuat sistem rolling atau pergantian pengajar, sehingga santri bisa merasakan diajar oleh guru yang berbeda.
Sebenarnya, Pak Joko menambahkan, syarat awal untuk bisa menjadi guru TPA hanyalah kemauan. Dengan adanya kemauan maka akan muncul semangat untuk memiliki kemampuan mengenai hal pokok yang akan diajarkan yaitu kemampuan membaca Al-Quran. Yang tidak kalah penting, syarat selanjutnya adalah memiliki akhlaqul karimah sebab guru seyogyanya bisa menjadi teladan yang baik bagi para santrinya.
Memasuki pokok bahasan ketiga, peserta dijelaskan secara singkat mengenai objek pengajaran yaitu para santri. Sebaiknya santri dibagi ke dalam kelompok sesuai jenjang usia yaitu TKA untuk usia 4-5 th dan TPA untuk usia 6-12 th. Beliau menyarankan untuk tidak membagi kelompok sesuai tingkat Iqro’ sebab bisa jadi menimbulkan rasa malu atau enggan bagi santri yang sudah SD tapi masih di tingkat Iqro’ 2 misalnya.
Pertanyaan tentang santri cukup banyak sebab pengajar berhadapan dengan anak-anak yang begitu dinamis. Berikut adalah beberapa tantangan yang biasa ditemukan saat mengajar,
1.     Bagaimana jika santri lebih menyukai diajar oleh guru tertentu?
Pertama harus dievaluasi mengapa bisa demikian. Jangan sampai disukai karena cara mengajarnya salah, misal terlalu mengikuti keinginan santri sehingga proses belajar tidak berjalan efektif. Tipe guru seperti itu disebut autoplastis. Sebaiknya, guru punya trik untuk bisa mengarahkan santri agar mau belajar.
2.    Bagaimana menghadapi anak dengan karakter yang berbeda-beda?
Ada empat tipe anak menurut Pak Joko.
A: Cerdas, sekali diberi contoh langsung bisa, bahkan ada yang belum diajari sudah bisa.
Untuk anak tipe ini, maka cara membaca iqro’nya bisa di acak, tidak perlu urut dan tidak perlu satu halaman dibaca bisa langsung naik, sehingga prosesnya bisa jadi lebih cepat. Agar lebih mantap bisa diberi tugas untuk pengayaan.
B: Biasa saja atau bisa mengikuti.
Untuk tipe ini tidak ada masalah berarti sebab anak cukup bisa mengikuti pengajaran rata-rata.
C: Mudah lupa.
Anak tipe ini adalah yang sering lupa atau bingung dengan bentuk huruf yang sama tapi beda bunyi atau bunyi yang hampir mirip. Usahakan untuk tidak menyalahkan, tetapi sebaliknya sebagai pendidik kita harus memberi penjelasan. Misal anak salah menyebut ‘ja’ menjadi ‘kha’ maka dijelaskan yang mana itu ‘kha’ dan mana itu ‘ja’ agar ia tahu bedanya.
D: Merasa  tak bisa.
Anak ini menganggap dirinya tidak bisa hingga enggan untuk mengingat pelajaran yang diberikan. Sering di cap nakal. Cara menghadapinya adalah dengan sering menggunakan alat peraga untuk belajar. Misalnya bisa menggunakan tulisan, potongan kertas, gerakan tangan, dsb.
3.    Bagaimana jika sudah masuk Al-Qur’an tapi ternyata masih sering lupa huruf atau tajwid?
Pak Joko menyarankan untuk melanjutkan bacaan Al-Qur’an nya sembari diselipkan materi yang tertinggal seperti makharijul huruf atau tajwid disela-sela membaca.
4.   Bagaimana menghadapi anak yang hiperaktif?
Anak yang memiliki kelebihan energi bisa diakomodir dengan memberikan tugas-tugas yang membuatnya bergerak misalnya saat lomba dibuatkan lomba lari atau semacamnya. Saat belajar ia bisa diajak untuk datang lebih awal daripada teman-temannya sehingga bisa lebih fokus dan tidak mengganggu teman yang lain.
                Pokok bahasan selanjutnya adalah mengenai materi. Materi pokok dari TKA dan TPA adalah bacaan Al-Qur’an yang salah satu metodenya dengan Iqro’ dan pelajaran sholat. Jika dalam evaluasi akhir, santri mampu memiliki dua kompetensi itu maka TKA dan TPA tersebut dikatakan berhasil dan sehat. Materi tambahan yang diberikan antara lain do’a sehari-hari (kalau bisa sekaligus prakteknya) dan BCM (bermain, cerita, menyanyi).
                Selanjutnya, adalah siasat-siasat dalam pengelolaan kelas. Bagi Pak Joko menjadi guru adalah pekerjaan seni. Guru harus bisa mencari alternatif cara agar murid atau santri memahami apa yang disampaikan. Di antara cara-cara agar santri dapat fokus pada guru adalah bagaimana sikap seorang guru dalam memgajar. Guru ternyata juga perlu memperhatikan cara duduk, berdiri, serta pandangan mata. Dalam sebuah kelas, guru jangan sampai membelakangi atau berada di samping santri misalnya dalam posisi duduk melingkar. Lebih baik duduk berhadap-hadapan.
Setelah sikap yang paling penting adalah seorang guru harus paham bahwa tugasnya adalah memberikan keterangan dan memberikan penguatan. Sebagai seorang guru maka hendaknya menguasai materi dan bisa menjelaskan. Untuk penguatan bisa dilakukan melalui sarana tugas menulis serta pengulangan atau penegasan pada bagian penting dari suatu materi yang disampaikan atau memberikan tugas rumah.
Pada sesi pertama ini Pak Joko juga memberikan gambaran pembagian waktu dalam satu kali sesi kelas TKA dan TPA. Misalnya dalam satu jam,
10 menit pertama        : pembukaan dan do’a
10 menit berikutnya  : hafalan (klasikal 1)
30 – 40 menit                                : baca iqro’ (privat)
10 menit terakhir         : penutup dan do’a (klasikal 2)
SESI KEDUA
                Sesi ini dibersamai oleh Ibu Hasni. Beliau membuka dengan sebuah ungkapan penghargaan bagi para perserta yang sebagian besar lajang sebab mau untuk menjadi pengajar Al-Quran dan terlebih bagi yang sudah berkeluarga sebab masih bersemangat meski tanggung jawab di rumah juga banyak. Bu Hasni dulu juga menjadi pengajar TPA sejak SMA kemudian karena kecintaannya pada anak-anak maka beliau menekuni dunia psikologi hingga sekarang menjadi dosen di UIN Sunan Kalijaga.
                Dari pengalaman tersebut, beliau mengingatkan kembali pada peserta bahwa sebelum mengajar para pengajar harus menilai kembali diri masing-masing, apakah cinta mendidik? cinta anak-anak dan remaja? Setelah itu barulah mengenali anak didik. Guru perlu mengenali karakter santri, cara ia berkomunikasi, gaya belajar, dan posisi santri dalam keluarga.
Bu Hasni memakai istilah ‘menyemai jiwa-jiwa yang suci’ ketika menjelaskan tentang bagaimana mendidik dan memperlakukan anak-anak yang jiwanya dipenuhi dengan kreativitas, spontanitas, enerjik, dan humoris. Seorang guru yang baik mutlak juga harus dapat mengimbangi karakter anak-anak tersebut.
Bagi anak usia dini karakter yang menonjol adalah memiliki jiwa berpetualang, rasa ingin tahunya tinggi, dan imajinatif. Usia dini adalah saat anak-anak belajar tentang konsep diri.
Sedangkan untuk anak-anak usia SD karakter yang menonjol adalah industri atau otonom. Anak-anak SD akan merasa berhasil berada di suatu lingkungan atau komunitas jika ia memiliki suatu kompetensi baik dalam hal intelektualitas, sosial, atau fisik. Oleh karena itu guru harus mengerti konsep kebisaan yaitu bisa membantu murid memiliki dan mengembangkan kompetensi diri (kemampuan/keterampilan) dan mengatakan ‘aku bisa’. Atau paling tidak bisa membuat anak merasa bisa.
Jika dalam mengajar ditemukan kesulitan mengatur kelas dan mengarahkan santri untuk belajar, Bu Hasni mengingatkan agar semuanya dimulai dengan niat baik yang dilandasi rasa kasih sayang. Gelombang kasih sayang dari guru terhadap anak-anak didiknya dapat memperdalam dan memperluas pengaruh pada anak atau santri. Sehingga sebelum memulai mengajar santri kita harus senantiasa melihat kembali atau cek kembali stok kasih dan tabungan kasih sayang kita. Sebagaimana dalam surat Ar-Rahman dimana Allah yang Maha Kasih memberikan pengajaran pada manusia.
ana_J/010515


No comments:

Post a Comment