Suka banting setir. Karena itulah gue nggak mau
belajar nyetir mobil.
Tahun ini adalah tahun kelima masa kuliah di
jurusan *** Universitas ***. Sudah banyak kawan-kawan yang lulus, tapi judul
skripsi gue masih terkatung-katung di langit. Belum sempat gue ambil karena
nggak fokus. Ngeblur. Nggak keliatan mana yang skripsi, mana yang main, atau
itu yang di sebelah kiri ada plang ijo yang tulisannya PASAR MALAM, ke kanan 10
m ARAH KASUR.
Dulu waktu SMA antara percaya nggak percaya,
harusnya nggak boleh percaya, seorang senior pernah baca garis tangan gue.
“Wah, banyak banget garisnya. Banyak maunya tapi nggak tuntas nih. Tentuin
pilihan aja. Pilihan kamu. Kamu yang ngejalanin kok. Nggak usah ikut-ikutan,” begitu
kira-kira inti pesannya.
Pertemuan itu udah nggak pernah gue inget-inget
lagi, hingga sampailah kita pada penghujung hari ini yang membuat isi kepala
gue mikir lagi. Saat hari akhir sudah semakin dekat sementara belum satu bab
pun berhasil sampai di garis finis. Gue baru sadar kalau gue itu sebenernya
banyak maunya, banyak kesempatannya, tapi banyak juga gagalnya. WHY? Hanya
karena gue NGGAK FOKUS dan parahnya gue NGGAK TAHU ARAH FOKUSNYA. That’s it.
Itu jawaban yang akhirnya muncul di atas kertas kuning yang ajaibnya bisa
nempel sendiri di dinding tanpa lem. Lebih ajaib lagi adalah preferensi gue
yang labil. Loncat-loncat kayak kodok pas hujan. Yup, labil atau dalam bahasa
lainnya nggak stabil.
Apa sih mau lu, kampret? (cermin pun hampir retak
pas gue bilang kampret keras-keras)
Oke, coba kita telusuri lagi gimana ceritanya gue
yang pengen mie ayam tapi berhenti di depan warung soto dan akhirnya makan nasi
goreng pedhes.
Dulu, lepas masa SMP, kata orang gue pasti gampang
masuk ke SMA ***, ibaratnya kayak pindah kelas aja. Keren kan. Waktu SD mau
masuk SMP dulu juga gitu. Alhamdulillah, Allah emang baik banget sama gue.
Lancar. Yang penting emak bapak gue seneng. Tapi tahukah kawan-kawan sekalian
kalau sebelum lulus SMP pernah tercetus ide, “Gimana kalau masuk SMK saja?”.
Sudah bisa dipastikan emak bapak gue menolak untuk menerima. Termakan oleh
label yang disematkan kalau SMK itu derajat sekolah yang kurang elite. Tapi
mungkin benar juga, karena kesempatan untuk maju akan lebih banyak di dapat di
sekolah negeri normal dengan lebih beragamnya informasi yang didapat.
Well, kenapa pernah terbersit kata SMK itu? karena
gue memang belum memutuskan pengen jadi apa dan sebenarnya gue ini pengen kerja
apa. Dengan harapan masuk sekolah kejuruan bisa memaksa gue untuk akhirnya
punya pilihan. Tapi meski argumentasi belumlah dapat dipertahankan, gue
bersyukur bisa menuntut ilmu di almamater SMA gue.
Begitu diterima gue
langsung masuk kelas unggulan. Bertemu kawan-kawan super pinter dari berbagai
belahan dunia. Dunia beda kabupaten, beda kecamatan, beda desa, beda RT, ada
juga kok yang beda kota.
Terus terang, masa SMA
gue agak kacau. Serius. Ini masih masalah preferensi. Judulnya adalah PENCARIAN
JATI DIRI.
Karena masuk kelas
unggulan, mau nggak mau semua murid harus masuk kelas IPA. Sedang nilai fisika
dan kimia gue pas-pasan. Serius. Lalu keluarlah ide untuk milih kelas bahasa.
Pasti seru, meski gue tahu nggak bakal ada yang ambil kelas bahasa di sekolah
favorit ini. Paling tidak pernah ada teman berbagi ide gila ini dan bersama melamunkan,
seandainya ada kelas bahasa.
Gue juga jago gambar, tapi untuk kalangan sendiri. Sampai pada suatu hari pas lihat iklan di TV dan nemu artikel tentang periklanan, gue bilang ke guru seni rupa kalau gue mau masuk sekolah seni rupa atau desain komunikasi visual. Pasti seru kerja dengan orang-orang keren yang punya sejuta ide kreatif dan dibayar untuk ide-ide gila kita. Beberapa tahun kemudian saat bapak guru menanyakan dimana aku sekolah dan jawabanku jauh berbeda dari keinginan yang dulu pernah kuutarakan, si bapak pun kaget dan berseru, “Walah, kok jauh banget.” Begitulah. Tapi sebelum berakhir di pilihan yang harus dengan cinta kujalani ini, bermunculan juga pilihan karir yang lain. Manuver yang tak disangka-sangka.
Saat gue akhirnya
makan bakso, yang dipikiran gue adalah pecel lele. Pas nulis ini gue emang lagi
laper jadi yang keluar makanan lagi deh.
Pas gue lagi
doyan-doyannya baca sejarah, gue pengen jadi arkeolog. Lalu emak melarang
dengan alasan gue anak IPA dan sayang kalau harus belajar IPS biar lulus ujian
masuk. Nanti juga kerjanya di lapangan. Takut anak manisnya ini jadi hitam
kelam terpapar sinar matahari. Selesailah sudah.
Pencarian belum
berakhir. Gue masih belum tahu juga mau jadi apa dan seneng apa. Hingga pada
suatu hari yang cerah saat berjalan di perbukitan opsi itu muncul. Keren juga
kalau gue bisa tahu kapan bumi terbentuk. Kapan gunung akan meletus. Bekerja
dengan ilmuwan-ilmuwan keren. Ke luar negeri dan... pilihan pertama saat ujian
masuk perguruan tinggi adalah geologi. Gue pengen tahu gue hidup di atas apa
dan siapa itu makhluk Tuhan bernama BUMI.
Tapi semua makanan
yang gue sebut tadi belum pernah dalam porsi lengkap tersaji di meja makan gue.
Dan yang ada sekarang adalah bahan mentah yang harus segera gue masak kalau gue
nggak mau lama-lama menahan lapar lagi. Kalau gue masih mau banyak-banyak bisa
nulis kayak gini. Kalau gue masih mau mengejar keinginan yang ternyata juga
masih beda dari jurusan gue sekarang.
Kayaknya perjalanan
ini masih akan panjang.
Perjalanan mencari
keberanian gue buat belajar nyetir
mobil.
Menghentikan kebiasaan banting setir yang tidak hanya membahayakan diri sendiri tapi juga membahayakan bagi orang lain.
Menghentikan kebiasaan banting setir yang tidak hanya membahayakan diri sendiri tapi juga membahayakan bagi orang lain.
ana_J/120415
No comments:
Post a Comment