Sunday 27 September 2015

HARI KE-24

Aku tidak bisa mengingat bagaimana aku dilahirkan. Lalu ketika sampai di hari ke tujuh aku diberitahu bahwa aku berasal dari tanah. Tanah yang dijadikan air. Bukan sembarang air, tetapi air yang oleh sebagian orang dianggap menjijikkan. Darinya lah aku tumbuh di dalam perut seorang perempuan. Menempel. Ya. Aku berawal dari cairan lemah yang hanya bisa menempel, meminta diberi makan.

Hari ke lima belas aku dibuat terkejut karena seseorang mengingatkanku kepada janji yang katanya kuucap di dalam perut tempatku mengemis makanan. Sebuah janji yang menjadikanku seorang manusia. Katanya lagi, menjadi manusia itu harus beribadah, menyembah hanya kepada zat agung yang memegang janji kita. Aku pun disuruhnya belajar agar tak melupakan janji itu dan agar bisa menjadi pemimpin bagi diriku sendiri.

Hari ke tujuh belas pertanyaan itu muncul.

“Siapa kamu?”

Aku bingung. Aku lupa. Oh, benar adanya bahwa manusia tempatnya lupa. Jawaban tentang diriku sendiri saja kulupakan dalam dua hari. Kemudian di tengah-tengah pesta yang penuh musik dan tarian, seseorang yang baik hati membisikkan padaku, “Kamu adalah hamba dari zat agung yang memegang janjimu.” Kami berdua duduk bersimpuh dan menangis. Seseorang itu menangis mengingat dosanya. Sedangkan aku menangis ketika melihatnya bisa sedemikian sedih.

Sejak saat itu orang-orang lain yang serupa dengan seseorang yang menangis tadi berdatangan padaku. Sebagian membicarakan perihal pakaian, yang lain tentang makanan, dan semua hal yang sesepele kaki mana yang harus masuk ke kamar mandi lebih dulu hingga pokok bahasan seberat kematian. Di sini, di tengah-tengah mereka aku mulai melihat bahwa kematian bukanlah suatu hal tabu dan terlalu menyeramkan untuk diobrolkan. Mereka nampaknya memulai segala sesuatu dengan mengingat hari yang dijanjikan. Kalau begitu kurasa aku juga harus selalu mengingatnya, Maha Cinta yang memberiku wujud sebaik-baiknya makhluk.

Hari ke dua puluh empat. Lingkaran orang-orang ini sungguh aneh, Kawan. Setiap kali aku datang ke tengah-tengah mereka, saat itu juga aku merasa seperti ditelanjangi. Bagaimana mereka bisa tahu apa yang sedang kupikirkan dan kurasakan? Bagaimana? Hampir semua yang mereka bicarakan rasanya sengaja ditujukan padaku, meskipun kenyataannya kami hanya bercerita tentang diri masing-masing.

Ini aneh. Tapi aku suka. Kejutan-kejutan seperti itulah yang membuatku ingin selalu kembali. Tunggu, aku tidak selalu ingin di sana, tetapi selalu ada yang tak pernah bosan membiarkanku melangkah menemui mereka, mendengar, dan merasakan yang namanya cinta. Lagi.

Kawan, aku meminta setiap kali kulakukan kesalahan agar cinta tak bosan berbicara padaku dan kembali menerimaku meski aku berjalan menujunya dengan sekujur tubuh berlumur lumpur. Aku meminta agar segumpal darah dalam tubuh ini dikuatkan. Dan... begitulah, setiap kali pembicaraan di antara kami dimulai, cinta itu kembali hadir menyusup dengan cara yang paling lembut.

Ini hari ke dua puluh empat. Sudah lama aku lepas dari dinding perut perempuan yang aku diberitahu untuk memanggilnya Ibu. Sudah banyak yang mengajariku bagaimana menjadi manusia. Tetapi kenyataannya aku masih meminta makan.

Maka, sungguh, terima kasih. Untuk perempuan dan lelaki yang airnya menyatu menjelma aku. Sungguh... terima kasih. Untuk yang-tak-pernah-kekurangan aku ingin mengatakan begini, Kawan. Kusampaikan aku mencintaimu meskipun sungguh tak sebanding dengan cintamu, wahai Maha Cinta. Berilah kedua lelaki dan perempuan itu kebaikan yang lebih dari yang telah mereka bagi padaku.

No comments:

Post a Comment